"Dokter Shasha," panggil dokter Lando membuat Marsha terhenti.
"Iya dok?" Tanya Marsha seperti biasa. Ekspresi biasanya, mungkin ia akan terlihat dingin jika dengan Ilham.
"Mengenai pasien barusan, maaf dok sebelumnya. Kemungkinannya kecil, kita sudah tidak dapat melakukan pembedahan," kata Lando. Kini keduanya sudah berjalan bersama membicarakan masalah pasien yang Marsha tangani.
"Setelah beberapa cek lagi, tumornya menyebar dengan sangat cepat. Bahkan hingga ke tengah, kami tidak mungkin melakukan pembedahan. Ini sangat beresiko."
Marsha fokus pada map yang dibawa Lando. Benar, hampir semua paru-paru sudah tertutupi. Marsha tidak ingin memutus rantai harapan anak usia 16 tahun yang ia tangani. Walau masih ada banyak metode lain, namun ini sudah tidak mungkin tertolong. Sel tumor ini sudah menjadi kanker ganas.
"Terima kasih dok. Saya akan mencari alternatif lain."
"Sama-sama. Apakah anda sibuk dok?" Tanya Lando membuat Marsha menoleh ke pria itu.
"Yeah... tidak terlalu sibuk. Ada sesuatu?" Tanya Marsha dan Lando hanya tersenyum.
Ilham melihat keduanya dari jauh. Tangannya mengepal, oh ayolah Marsha mengacuhkannya walau ia sudah berusaha. Melihat Marsha tersenyum dengan pria lain sungguh membuat mata Ilham memanas.
"Hahaha, cuma ditonton. Aksi dong," kata Ivan tiba-tiba berada di belakang Ilham.
"Ck, lo tau kan Marsha ngacuhin gue kayak apa," balas Ilham kesal kemudian berjalan pergi dari sana.
"Yah, bukan salah Marsha sih. Lu yang salah juga dulu," kata Ivan yang masih mengikuti sahabatnya.
"Gue harus gimana biar bisa deket dengan Marsha. Capek gue diacuhin terus."
"Lo harus terbuka bro. Selama ini lo selalu bersembunyi dibalik tembok besar yang gue sebut harga diri. Yah, setidaknya, sedikit ngerendahin egolah minimal. Terbuka saja sama Shasha, kalian itu sudah lama kenal tapi cuma lo yang tau segalanya tentang Shasha. Dia juga ingin tau tentang lo. Lo itu orangnya tertutup, cuma ingin tau tentang Shasha. Tapi, saat Shasha mau tau tentang diri lo. Lo selalu jadi pengecut. Jangan dengerin ucapan sadis gue tapi memang begitu."
Ivan memulai ceramah kembali. Namun hanya satu pidato itu kemudian Ivan mendahului Ilham. Tak lupa memberi tepukan dibahu sahabatnya agar yah sedikit ada dorongan untuk Ilham.
"Terbuka?" Guman Ilham.
Ia selalu ingin seperti itu, namun ia justru takut Marsha malah meninggalkannya saat mengetahui sifat aslinya. Jujur, Ilham memang orang yang pengecut. Bahkan ia malu berinteraksi secara leluasa dengan orang yang ia cintai, Marsha.
"Akan ku coba," guman Ilham kemudian berjalan entah kemana langkah kakinya melangkah. Jelas menuju ruangannya untuk memikirkan ini semua.
****
"Hem, bagaimana kalau kita mulai ini dari awal?" Tanya Ilham menghampiri Marsha yang tengah berjalan sendirian.
"No," hanya itu jawaban dari Marsha. Langkah kakinya sama sekali tak terganggu menuju luar rumah sakit. Hari ini ia sudah tak ada jadwal, maka sore ini ia akan berniat langsung untuk pulang.
"Ayolah, kamu tak melihat tidak ada penganggu lagi? Jadi, mungkin ini waktu yang tepat untuk memperbaiki ini semua?"
Marsha berhenti, hal itu juga membuat Ilham terhenti. Ia melihat gadis itu berbalik metapnya dengan tatapan yang Ilham tak dapat artikan sebagai apa. Marah? Kesal? Intinya mungkin berhubungan dengan hal tersebut.
"Apa seperti itu caramu mengajak wanita berbaikan?" Tanya Marsha jengah.
Ayolah, seberapa bodoh dokter pintar ini dalam urusan percintaan. Marsha tau otak gemerlang Ilham bahkan soal beasiswa yang ia tolak. Tapi kenapa bodoh sekali orang ini dalam percintaan.