"Matcha latte satu!"
"Matcha Latte please!"
Ucap dua suara bersamaan. Hal itu membuat pegawai yang ada dimeja customers keheranan mematap dua pelanggan yang berkata bersamaan dengan pesanan yang sama pula.
"Ma-maaf, kak, dok. Untuk matcha lattenya tinggal satu," kata mbaknya dengan wajah tak enak.
"Saya yang pesan dulu," kata Lando dengan datar. Seperti biasa santai menaruh tangannya didalam kedua saku snelinya dan menatap menu dengan datar.
"Eh! Kan aku duluan yang pesen! Gak bisa! Gak bisa, aku!" Ucapnya dengan suara khas ributnya membuat Lando hampir memutar bola mata malas.
"Ada menu lain, bisa diorder," kata mbaknya tak enak.
"Matcha latte!" Tekan keduanya bersamaan membuat mbaknya kaget.
"Bisa gak sih, jangan ikutin gue! Capek tau, sana pesan yang lain!" Kata Agnes dengan kesal.
"Saya duluan," kata Lando datar.
"Gak! Pokoknya matcha lattenya untuk aku! Aku dah pesen duluan!"
"Saya duluan," balas Lando masih datar.
"Hih! Kenapa sih harus ada dokter ini, capek lihat wajahnya."
Lando sama sekali tak berkomentar, ia hanya menatap lurus menu yang ada di atas. Yang menarik perhatiannya adalah matcha latte dan ia tak ingin beralih pesanan.
"Jadi..."
"Saya pesan duluan," kata Lando datar.
"No! Big no! Saya duluan! Kamu jangan macam-macam ya, saya ini keponakannya dokter Adi loh!" Kata Agnes dengan sombongnya.
"Ck, masih bocah," guman Lando tanpa sadar.
"Hei! What do you say?! Dokter hanya yang punya mata saat jalan. Lo bilang apa?" Tanya Agnes langsung berkacak pinggang.
Mbak-mbaknya hanya melihati debat keduanya dengan bingung. Selama ia bekerja di Abdi Nugroho belum pernah bertemu seseorang seperti Agnes. Apalagi hingga membuat dokter Lando yang dingin ikut berdebat.
"Cepat buatkan," kata Lando datar kepada mbaknya.
"Buatkan untuk saya maksudnya kak," kata Agnes dengan sombongnya.
"Eh, dokter yang jalan cuma pakai mata. Jelas-jelas gue duluan yang pesen ih! Bisa ngalah gak sih sama yang muda? Gak sadar apa situ sudah tua!" Kata Agnes sambil mengibaskan rambutnya.
Lando langsung berbalik menatap Agnes, kurang ajar sekali anak ini. Sepertinya harus benar-benar dididik ulang. Bagaimana orang tuanya tak mengajari sopan santun kepadanya.
"Hei-"
"A... a... a... please wait. Skip dulu kalau mau ngomong, ponsel gue bunyi." Agnes mengangkat tangannya tepat didepan wajah Lando membuat dokter itu seketika berhenti berbicara.
Agnes mengeluarkan ponsel dari saku pakaiannya dan segera melihat siapa si tersangka. Oh, ternyata aunty tercintanya yang memanggil. Agnes segera mengangkatnya.
"Ya aunty? Oh begitu... iya, aku masih di kantin. Bentar lagi debat sama dokter yang jalannya cuma pakai mata."
Ucapan Agnes membuat Lando melotot. Benar-benar ajaibkan ini bocah? Bagaimana ia bisa memanggilnya seperti itu. Lando juga punya nama tau. Dan sialnya, kenapa Lando malah emosi? Apa ia peduli dengan apa yang diucapkan gadis ini?
"Iya Aunty. Yah... nanti Agnes segera kesana," kata Agnes kemudian menutup teleponnya.
"Huh! AW!!!"
"Ma-maaf dek. Sa-saya tidak sengaja," jata seorang pegawai rumah sakit bagian kantin yang membawa makanan.
