Lisa POV
Aku menyukainya sejak lama.
Gadis itu adalah tetanggaku. Aku melihatnya hampir setiap hari. Senyumannya yang menawan begitu menarik perhatianku, meski ia jarang melakukannya. Di pagi hari kami sering berpapasan, dan ia memberiku senyuman menawan itu. Bagaimana aku tidak jatuh cinta padanya?
Namun aku sulit mendekatinya. Ia sangat pemalu dan tertutup. Bahkan sepertinya ia tidak tahan jika ditatap terlalu lama. Setiap kali kami bertemu di depan rumah untuk membuang sampah, aku selalu mencari topik agar bisa berbicara dengannya. Akan tetapi ia hanya memberi respon singkat. Aku tahu ia hanya pemalu, bukan tak menyukaiku. Aku positif akan hal itu.
Aku mengerti dengan sifat pemalu dan tertutupnya. Sejak pindah ke komplek perumahan ini, aku sering sekali mendengar pertengkaran antara ayah dan ibunya. Aku yakin tetangga lain juga mendengarnya. Ibunya tidak pernah meninggalkan rumah, kurasa. Hanya gadis yang kusukai itu yang pergi bekerja dengan ayahnya, menjaga toko milik mereka yang tak jauh dari sini.
Aku adalah seorang psikolog. Aku bisa melihat dengan penilaianku bahwa pertengkaran rumah tangga membentuk karakter gadis itu seperti sekarang. Aku kasihan padanya. Ingin sekali kudekati keluarganya dan mendengarkan apa saja yang mereka keluhkan. Tetapi aku tidak ingin bersikap tidak sopan dengan mencampuri urusan mereka.
Namun aku tetap menyukai gadis itu. Namanya Jennie Kim. Ia merupakan anak tunggal. Andai saja Jennie memiliki saudara, pasti ia bisa berbagi ceritanya. Terkadang aku sering mengintip dari jendela samping rumahku, hanya untuk melihat gadis itu berlalu lalang di dalam rumah. Lalu aku akan tersenyum sendiri. Aku memang sebodoh ini jika jatuh cinta.
Sampai suatu sore aku bertemu lagi dengannya di depan rumah, ketika membuang sampah. Ia menunduk saat kami berdekatan, tetapi aku tidak melepaskan pandangan darinya. Aku menelan ludah. Sepertinya aku harus memulai pembicaraan lagi agar aku tahu apakah ia bisa menerimaku menjadi temannya. Aku tidak ingin ia canggung bersamaku.
"Annyeonghasaeyo, Jennie-ssi."
Jennie menoleh padaku dan membungkuk. Ia tidak perlu melakukan itu.
"A-Anyeonghasaeyo, dokter Manoban."
"Panggil saja aku Lisa. Sepertinya kita sebaya, Jennie-ssi. Lagipula aku bukan seorang dokter, tetapi psikolog."
Aku tidak tahu berapa umurnya, hanya menebak. Jennie mengangguk dan tersenyum canggung. Seperti biasa, aku terpesona untuk beberapa detik. Tetapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. Jika biasanya aku tidak berkutik melihatnya pergi, kini aku ingin menahannya sedikit lebih lama.
"Bagaimana kabar ayah dan ibumu?"
Aku tidak tahu mengapa pertanyaan itu yang kupilih. Bodohnya aku.
"Eomma sehat. Tetapi Appa sedikit tidak enak badan," Jennie menjawab.
"Oh ya?"
Pantas saja aku tidak melihat ayahnya pergi ke toko bersamanya selama beberapa hari terakhir. Jennie pasti kesulitan mengurus toko mereka sendirian.
"Apa sakit ayahmu? Jika kau tidak keberatan memberitahu," ujarku lembut. Melihat ekspresinya yang begitu polos membuatku ingin memeluknya.
"Eomma berkata padaku kalau Appa demam dan kelelahan. Usia Appa tidak muda lagi, bukan?"
Aku mengangguk. Aku senang ternyata ia mulai bersikap terbuka padaku.
"Lalu, apa sudah berobat ke dokter? Jika kau berkenan, aku akan meminta temanku, dokter Jisoo, untuk datang ke rumahmu."