Umur adalah rahasia.
Sepertinya pepatah itu yang paling tepat menggambarkan suasana pemakaman hari itu.
Semuanya merasa kehilangan. Tak terkecuali langit yang tampak muram, melepaskan hujan yang ikut membasahi tangisan bumi dari atas.
Sebegitu berharganya kehadiran gadis itu bagi semesta. Alam pun ikun hancur karena kepergiannya.
Zelo memegang payung hitam itu dengan tangan bergetar. Rambutnya sudah basah, tapi ia tetap bertahan melindungi kakaknya yang duduk terkulai di samping pusara.
Untuk menangis saja rasanya sudah lelah. Jawaban takdir kali ini benar-benar sangat egois. Meski ia sudah melayangkan doa, permintaannya tetap saja dijatuhkan ke dasar bumi.
Orang-orang sudah mulai pergi mengingat hujan semakin deras. Namun, mereka masih setia menunggu Yena dengan tatapan sendu.
"Kak Mark masih belum datang?" bisik Injun pada Yiren yang terisak.
Dengan putus asa wanita itu menggeleng lemah, merasa iba pada nasib yang menimpa Yena.
"Kak...diikhlaskan ya..." bisik Zelo lembut.
"Letta udah tenang di sana. Dia udah bahagia di surga. Dia nggak mau Mamanya sedih lagi. Kita pulang ya, Kak..." Anak itu mengelus punggung Yena lembut, meminta kakaknya untuk segera berdiri dari sana.
"Iya sayang....ayo pulang! Nanti kamu sakit....Tante nggak mau kamu sakit. Besok kita ke sini lagi...," tambah Vera berusaha membujuk dengan lembut. Wanita itu juga berusaha tegar agar yang dikuatkan tidak semakin hancur.
Dalam hati Yena tertawa. Apakah jika dia ke sini besok, gadis itu akan hidup kembali?
Ucapan mereka seperti omong kosong.
Untuk apa ia bertahan jika satu-satunya alasan ia hidup sudah pergi dari dunia yang jahat ini?
"Zelo sayang, bantu Kakak kamu ke mobil Tante. Tante sudah izin ke Papa kamu buat bawa dia ke rumah. Nanti Tante sama Om susul kalian setelah bicara sama pengurus makam..."
Zelo mengangguk, lantas menuntun Yena yang sudah pasrah untuk pulang.
"Zel..."
"Kak Yiren...." cicit pemuda itu hampir menangis.
Di situ hati Yiren seperti terbelah jadi dua. Gadis itu langsung memeluk Zelo sembari menguasai diri.
"Kamu yang kuat.... Saat ini Yena butuh kamu sebagai adiknya. Besok Kakak bakal ke sana buat jenguk kalian," bisiknya sebelum mereka berpisah.
Begitu sampai di mobil, suasana jadi hening karena baik Vera maupun Faris masih belum kembali. Pandangan Yena benar-benar kosong menatap kaca samping yang temaram karena hujan. Perempuan itu terguncang, masih belum percaya dengan apa yang terjadi tiga hari yang lalu. Baginya ini adalah mimpi buruk yang tidak pernah berujung. Ia seperti tertidur, dan ini adalah mimpinya.
"Papa udah pulang?" tanyanya lemah.
Zelo menunduk, bingung harus menjawab apa.
"Dia pasti benci sama Kakak. Kakak ini kan pembawa sial, semua orang di sekitar Kakak pasti menderita," ujarnya sumbang.
"Nggak Kak. Papa juga butuh waktu. Nanti kalau semuanya udah membaik, pasti dia bakal nemuin Kakak."
Yena tersenyum kaku. "Jadi kita bakal tinggal di rumah 'dia'?"
Zelo meneguk ludah berat.
"Cuman sementara aja. Kata Papa sampai bayi di perut Kakak lahir."
"Lagipula, Tante Vera udah nyuruh Kak Mark buat pindah dari rumah, jadi Kakak nggak usah khawatir, karena Kakak nggak bakal ketemu dia di sana," lanjutnya tersengal.
Yena tertawa sinis. "Bahkan dia nggak datang ke pemakaman anaknya kan, tadi?"
Zelo hanya mampu mengulum bibir tidak bisa menyangkal. "Kakak masih punya aku. Aku janji aku nggak bakal ninggalin Kakak," ucapnya yakin sebelum merengkuh Yena ke dalam pelukannya. "Kita mulai dari awal lagi ya...."
Untuk pertama kalinya di dalam hidup, kedua bersaudara itu saling menangis bersama. Zelo sadar, satu-satunya yang bisa menguatkan Yena saat ini hanyalah dirinya sendiri sebagai adik. Jadi ia tidak boleh ikut runtuh.
✨✨✨
Copyright © Rey|2021