~Vote and comment will be appreciated~
Sebuah ketukan pintu menyadarkan Yena dari lamunan. Perempuan itu segera mengalihkan tatapannya dari cermin, lantas menoleh ke asal suara.
Seminggu ini yang ia lakukan hanya memandangi wajahnya dengan tatapan miris sampai terkadang ia tidak sadar jika ada orang yang sedang masuk ke dalam kamar.
"Tante boleh masuk?" tanya orang itu meminta izin.
Yena memaksakan sebuah senyum kepada wanita itu. "Masuk aja, Tan. Maaf tadi Yena nggak sadar. Udah dari tadi?"
Vera tersenyum anggun, lantas meletakkan piring berisi brownis di atas nakas.
"Baru aja kok. Tante habis selesai masak buat makan malam. Habis ini kamu turun ya!"
"Yang lainnya udah sampai di rumah?" tanya Yena.
"Udah. Baru aja Om Faris sama Zelo pulang barengan. Kalau Haevan bilang bakal telat karena ada lembur di kantor."
FYI, setelah pemakaman itu, mereka memutuskan untuk tinggal bersama.
Zelo diizinkan untuk tidur bersama Haevan di kamarnya di lantai bawah. Sementara Faris harus tidur sendiri di kamar utama karena Vera memilih untuk tidur menemani Yena di kamar atas, bekas kamar Mark yang dulu.
Sebenarnya Yena bersyukur karena Faris dan Vera sangat menyambut mereka di rumah dengan hangat. Dan itu merupakan permintaan mereka juga. Tapi terkadang ia merasa canggung untuk tinggal di rumah ini karena mereka sudah lama tidak berhubungan. Di tambah lagi, Yena tahu kalau kamar yang ia tempati saat ini adalah kamar pria itu, yang pastinya membuat dirinya sering menangis tanpa sebab.
"Oh ya, Tante sampai lupa kalau tadi pagi habis beli brownis keju buat kamu. Emang udah pikun sih. Habis Tante potong, Tante taruh di kulkas. Kelupaan deh..." Vera terkekeh ala ibu-ibu.
Walau begitu Yena tahu di balik senyumnya itu, ia sedang menyembunyikan rasa sedihnya.
Tidak bisa dipungkiri, kejadian ini juga membuat wanita itu terpukul hebat. Ia harus menerima kenyataan jika cucu pertamanya meninggal bahkan sebelum ia tahu kalau ia sudah memiliki cucu. Bahkan mereka belum sempat bertemu sama sekali.
Belum cukup sampai situ, sekarang ia dipaksa untuk menjauh dari putra pertamanya setelah mereka tidak bertemu selama bertahun-tahun. Apalagi Yena tahu kalau Mark adalah anak kesayangan Vera. Pasti semua ini terasa berat baginya.
"Ini coba kamu cicipin. Kalau kamu suka besok Tante beliin lagi..."
Kini perempuan itu mengelus perut Yena yang rata dengan senyum mengembang.
"Cucu Nenek makan brownis ya!! Biar tambah gede..." hiburnya mencoba mengajak berkomunikasi janin Yena yang masih berumur hampir dua bulan.
"Habis ini makan sayur biar imbang. Biar nanti bisa sekolah pintar kayak Mama..." sambungnya jumawa.
"Minggu depan jadwal kamu cek kehamilan kan? Besok Tante yang antar kamu ke rumah sakit buat check up," sambungnya yang kini lebih diarahkan ke Yena.
"Pokoknya kamu nggak boleh banyak pikiran, paham? Kasihan dia, nanti ikut sedih lihat mamanya stres," ujar Vera mewanti-wanti.
Yena sendiri merasa bersalah. Sejak berita kehamilannya, ia sama sekali tidak mempedulikan bayi itu dengan baik. Justru Vera yang sering berinteraksi dengannya saat senggang.
Entahlah. Ia masih belum bisa menerima bayi itu untuk lahir di dunia. Saat berusaha mencoba, Yena selalu teringat dengan ayah dari calon bayi tersebut. Dan itu selalu mengorek luka di dalam hatinya.