~Vote and comment will be appreciated~
Pelataran makam itu terlihat sepi. Meski sore telah menyingsing, angin semakin berhembus kencang meniup rambut Mark, seakan marah dengan pria itu karena baru pertama ini ia berani berkunjung sedekat itu.
Sengaja hari ini ia pulang lebih awal untuk mengunjungi Letta. Masih dengan dasi biru yang tergantung lusuh, pria itu bersimpuh di sebelah pusara putrinya.
"Hey, princess. Papa datang..." sapanya setelah meletakkan bunga mawar di tanah.
Pria itu tersenyum kecil, berusaha menguasai diri agar tidak menangis.
"I think I'm too late, right?"
"Maaf, baru bisa datang hari ini, Papa sibuk banget."
"Pasti kamu kesel sama Papa..." ucapnya bermonolog.
Mark terdiam sejenak, berusaha mengontrol suaranya agar tidak tersengal. Matanya menyapu sekitar, mengizinkan angin untuk setia membelai wajahnya yang terlihat pucat.
"Papa punya berita bahagia buat kamu."
"Coba tebak apa?" Pria itu bertanya meski ia tahu tidak akan ada suara yang akan menjawabnya di sana.
"Soon you will have a brother..."
"A little brother," seru Mark terkekeh.
"You're happy right? Dulu kamu selalu minta Papa sama Mama buat bikin adik, sekarang adik kamu bakal lahir..." sambungnya mengingat.
"Kemarin Mama ngecek kandungan lagi sama Om Zelo. Katanya dedek bayinya sehat."
"Terus semalam Mama bisa ngerasain bayinya nendang. Lucu kan?"
"Kayaknya nanti kalau besar bakal jadi pemain sepak bola..."
"Pasti kamu ikut seneng kalau masih ada di sini..." ucap Mark sembari terkekeh kecil.
Namun, sedetik kemudian ekspresinya langsung berubah digantikan raut getir. Pria itu tertawa pahit.
Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan di sini?
Berbicara sendiri dengan batu nisan layaknya orang bodoh. Padahal ia tahu putri kesayangannya itu pasti sudah tidak di sini lagi.
"Fyuh..."
"Papa nggak tahu kamu masih ada di sini lagi atau nggak, tapi Papa rasa kamu masih bisa denger suara Papa..."
Mark terdiam sejenak, menunduk dengan mata memerah. Tangisnya langsung berjatuhan di atas rerumputan yang terpotong rapi. Tiba-tiba pria itu terisak sembari menutupi matanya.
"Maaf..." gumamnya.
"Seharusnya waktu itu Papa datang ke resital kamu..."
"Jika waktu itu Papa datang, mungkin kamu masih ada di sini sama Papa kan...?"
Hati Mark kembali hancur. Andai jika ada suatu hal yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan anak itu bersamanya, ia akan melakukannya. Terserah, apapun itu. Meski ia harus menukar nyawanya ia bersedia.
Memikul rasa bersalah selama sisa hidup seperti ini jauh lebih melelahkan dari pada meregang nyawa demi sang putri.
"Papa harap kamu bahagia di sana, sayang. Kan kamu dulu pengen jadi bintang..." lanjutnya terkekeh.
"Anak Papa harus jadi yang nomor satu dong."
Pria itu membelai batu nisan Letta dengan lembut. Memastikan tidak ada dedaunan kering di sana.