23| ✨

702 70 3
                                    

~Vote and comment will be appreciated~




"Makan...!"

Pelataran samping rumah sakit itu terasa sepi. Karena mungkin masih pagi, hanya ada dua orang yang duduk berhadapan di sebuah bangku taman dekat koridor.

Yang satunya masih berpakaian hitam sisa kemarin, sementara yang satunya sudah berganti dengan kemeja warna biru tua dengan celana bahan warna abu.

Keduanya begitu tenggelam ke dalam percakapan hingga menghiraukan para perawat yang baru keluar dari kamar jenazah dengan wajah lelah.

"Makan, Yen. Perut lo harus keisi. Dia bakalan sedih kalau lihat lo kayak gini..." titah Jeno mengulang. Pria itu menyodorkan seporsi bubur ayam yang baru ia beli dari depan rumah sakit pada Yena.

Bukannya menerima, wanita itu malah menjauhkan kardus styrofoam itu darinya. "Gue belum lapar, Jen...udah berapa kali sih gue harus bilang?"

"Ya tapi lo harus tetap makan, biar tubuh lo kuat. Asal lo tahu, sekarang yang jadi tanggungjawab lo itu bukan diri lo aja, tapi bayi di kandungan lo juga," tandas Jeno tidak mau dibantah.

"Sini kalau lo nggak mau, biar gue suapi," sambungnya yang sudah ingin merebut sendok itu dari tangan Yena.

Jeno tahu kejadian kemarin membuat wanita itu terpukul hebat. Ia sendiri pun demikian. Tidak ada yang menyangka jika pria itu akan mengalami kejadian senaas itu. Tapi menghukum diri dengan membiarkan tubuh kelaparan seperti ini juga bukan tindakan yang bijak.

"Kenapa lo nggak tahan dia kemarin?" tanya Yena pelan. "Kenapa lo nggak cegah dia buat pergi dari perusahaan?"

Jeno menunduk lemah. "Gue juga nggak tahu kalau dia bakal mengalami kecelakaan itu. Andai pun gue tahu, gue juga nggak bakal bisa nyegah..."

"Setau gue, Mark akan tetap berangkat meski ia tahu ia akan kecelakaan. Gue yakin dia bakal tetap menginjak gas itu buat nyelamatin lo sama bayi yang ada di kandungan lo meski bertaruh nyawa," jelas Jeno sungguh-sungguh.

"Gue cuma nggak nyangka aja kalau itu adalah kalimat terakhir yang bakal gue denger darinya sebelum dia mengalami kejadian itu...." tambahnya lemah.



Sebuah senyum pahit terbentuk. Dalam hati Jeno menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak mencegah pria itu untuk pergi. Seharusnya ia bisa membaca gelagat aneh Mark yang ia tunjukkan dan membuatnya tetap tinggal. Tapi ia malah melepaskan dirinya untuk menjemput maut.

"Dia minta gue buat jaga perusahaannya saat dia pergi. Gue nggak tahu kalau kalimat itu punya makna lain dari sekedar itu," sambung Jeno bercerita.

"Lo tahu nggak, bahkan kita punya janji buat minum bareng setelah dia balik..."

"Dasar pembohong," kekeh Jeno di akhir kata.



Mendengar itu membuat hati Yena teriris.

Wanita itu mengusap wajahnya kasar, berusaha menguasai diri agar tidak terlarut ke dalam cerita.

Dalam sekali gerakan ia mendongakkan wajah mantap.

"At least, your story is better than mine..." timpalnya pada Jeno.

Wanita itu terkekeh getir. Angannya pun melayang jauh ke kejadian beberapa hari yang lalu. "Lo tau nggak, terakhir kita ketemu kita bahkan berantem hebat, Jen..." tuturnya lemah.

"Gue bilang ke dia kalau dia adalah ayah terburuk yang pernah ada...."

"Gue bilang ke dia kalau akan lebih baik bayi ini terlahir tanpa dia. Bahkan gue bilang kalau akan lebih baik dia mati supaya bayi ini nggak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya..."

Afterglow | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang