~Vote and comment will be appreciated~
Lima hari merangkak begitu lambat. Meski belum genap seminggu, Yena pikir rasanya pria itu sudah terbaring koma di di sana selama berbulan-bulan.
Kecelakaan tempo hari memang belum merenggut nyawa Mark, tapi pria itu seakan berada pada titik antara mati dan hidup.
Mungkin satu-satunya penopang ia bertahan hanyalah puluhan selang dan alat yang terpasang pada sekujur tubuhnya yang Yena sendiri tidak tahu apa namanya.
Dengan wajah begitu pucat, pria itu terlelap damai seakan enggan untuk terbangun dan menyambut bayinya yang belum lahir.
Pembohong. Dulu ia pernah berkata kalau ia sangat menunggu kelahiran bayinya. Tapi sekarang....
Mata Yena bahkan sudah tidak bisa lagi untuk menangis. Air matanya telah kering. Baginya ini adalah opsi terburuk dari semua kemungkinan yang ada.
Percayalah, berharap pada sesuatu yang tidak pasti rasanya lebih mencekik daripada menyaksikan pria itu meregang nyawa pada hari yang sama. Akan lebih baik jika ia mati di tempat kejadian daripada dijatuhkan oleh harapan seperti ini.
"Masih belum sadar?" tanya Faris begitu sampai di depan kamar.
Semenjak Mark dibawa ke rumah sakit, rumah benar-benar tidak terurus sehingga ia memutuskan untuk pulang sembari membawakan beberapa selimut untuk yang lain.
Haevan menggeleng lemah, mencoba menguatkan Vera yang sudah duduk lemas pasrah dengan keadaan.
"Yena di mana?" tanya Faris menengok.
"Di dalam," sahut Haevan menunjuj.
"Sejak semalam dia di situ terus?" tanya Faris tidak percaya.
Lagi-lagi Haevan mengangguk dengan berat hati.
Jawaban itu membuat Faris menghela nafas berat. Sepertinya empat hari ini dunia mereka ikut muram karena kondisi Mark.
"Papa bawain kalian selimut buat jaga nanti malam..." ujarnya pada keduanya. "Rumah juga udah Papa bersihin kemarin. Jadi kalian nggak usah khawatir lagi soal rumah..."
Hiburan itu membuat Vera tersenyum kecil pada sang suami. "Kenapa bawa selimut segala?"
"Buat nanti malam, kalau misal kalian pengen jaga dan tidur di—"
"Bawa pulang aja. Kita nggak tahu nanti malam dia masih sama kita atau enggak..." potong Vera sarkas.
Haevan tahu, mamanya itu sudah lelah dengan harapan dari selang-selang itu. Bahkan wanita itu seperti mengikhlaskan kakaknya untuk pergi jika memang sudah takdirnya. Melihatnya dalam kondisi seperti itu malah mengiris hati sosok ibu yang ia miliki.
"Ma...jangan gitu. Kak Mark pasti bangun...!" tegas Haevan menguatkan.
"Tapi kenyataannya dia nggak bangun-bangun kan?"
"Masih belum..." ucap Haevan memberitahu. "Belum waktunya aja...dia masih capek. Nanti kalau udah engga dia pasti bangun kok."
Vera mengusap wajahnya kasar, lantas menguasai diri agar tidak terlarut ke dalam kesedihan ini.
"Terakhir kali kita bicara, dia pamit mau terbang ke Jepang. Mama nggak tau kalau itu adalah isyarat terakhir dia buat pamitan..." racaunya merana.
"Sepertinya dia lagi marah sama Mama karena pernah diemin dia waktu itu. Dan sekarang dia pengen balas dendam..."
Racauan itu membuat Haevan mendesis kecil. "Ssssstttt! Jangan ngomong gitu. Percaya sama Haevan kalau Kak Mark bakal bangun dan sehat lagi..."
"Sekarang Mama cuci muka, terus ajak Kak Yena buat sarapan. Dari tadi dia belum makan. Kalian makan bareng di kantin rumah sakit. Biar Haevan sama Papa yang jaga Kak Mark..." lanjutnya menginstruksi.