~Vote and comment will be appreciated~
Waktu memang merangkak begitu cepat. Tanpa Yena sadari, usia kehamilannya sudah menginjak bulan kesembilan. Meski demikian, selama satu bulan belakangan ini tak ada hal yang istimewa baginya. Mungkin satu-satunya yang mengganjal pikirannya adalah sikap Mark yang terasa ganjil.
Pria itu selalu memberikan perhatian lebih terhadapnya, ia memenuhi kebutuhan dirinya dan calon bayi yang ia kandung serta selalu siaga selama 24 jam.
Walau begitu ada sorot janggal yang terpancar saat Mark menatapnya. Entahlah, ibarat manusia sorot itu terasa tak bernyawa.
Semenjak festival kembang api malam itu, hubungan mereka memang baik-baik saja. Tapi entah kenapa Yena selalu merasa ada yang kurang.
Dari pengamatannya Mark jadi lebih diam dan tenang. Sosok posesif, clingy, nakal, dan manja yang ada pada pria itu tiba-tiba menguap.
Dan entah kenapa hal itu membuat Yena merasa kehilangan. Untuk pertama kalinya ia merindukan versi pria itu yang dulu. Ia rindu dengan sikapnya yang cemburuan. Ia rindu dengan tingkahnya yang posesif.
"Ya udah, kalau gitu Mama tinggal dulu ya! Kalau ada apa-apa langsung telfon Mama," pamit Vera kepada keduanya.
"Mark, jaga Yena. Kalau mau keluar telfon Mama, biar Mama pulang. Mama titipin dia ke kamu. Kalau misal ada sesuatu, langsung bawa dia ke rumah sakit pakai mobil Papa," sambungnya yang lebih mengarah ke Mark.
"Iya, Ma. Hati-hati."
Seperti biasa, hari ini keluarga mereka disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing.
Faris dan Haevan yang berangkat ke kantor, Zelo yang berangkat magang, dan Vera yang harus menjaga toko rotinya yang sedang beroperasi.
Satu-satunya orang yang selalu mengalah setiap hari untuk jaga rumah adalah Mark. Dua minggu ini, pria itu membawa seluruh pekerjaannya ke rumah dan bekerja dari sana.
Bagi mereka, kehamilan Yena yang sudah tua harus mendapatkan perhatian lebih jikalau tiba-tiba ia mengalami pembukaan.
"Kalian udah sarapan kan?"
"Udah, Tan...tadi sarapan sama sereal..."
Vera beralih pada Mark. "Mark?"
"Udah juga kok..."
"Ya udah, nanti siang kalian order aja makanan dari luar. Yena nggak usah masak, paham?"
Keduanya mengangguk patuh sebelum akhirnya Vera keluar dan menutup pintu dari luar.
"Masih belum kerasa?" tanya Mark pada sang wanita.
Wanita itu ikut mengekor pada perutnya yang sudah membesar.
"Belum. Dokter Mika juga bingung kenapa dia nggak ada tanda-tanda buat keluar, padahal ini udah masuk minggu-minggu kontraksi."
Mark terkekeh lantas mendekat ke arah perut Yena dan mengelusnya pelan.
"Anak Mama betah banget ya tinggal di dalam? Iya? Nggak mau keluar? Malu nih pasti sama Papa..." hiburnya pada sang calon bayi.
Melihat itu Yena ikut tersenyum.
"Nggak mau ketemu sama Papa, kan papanya belum mandi," celetuknya membalas.
"Beneran? Nggak mau ketemu sama Papa gara-gara belum mandi? Nyuruh Papa buat mandi nih berarti?"
"Padahal Papa wangi loh! Belum mandi juga masih wangi...masa nggak mau ketemu sih?"
"Nggak mau. Baby B nggak pengen ketemu Papa karena Papa jelek," timpal Yena fasih.