~Vote and comment will be appreciated~
Tidak seperti biasanya, pagi itu meja makan keluarga Lee tampak penuh. Hari Senin memang menjadi waktu yang tepat untuk sarapan keluarga.
Dengan pakaian kantornya, Faris sang kepala rumah tangga memimpin mereka berdoa. Pakaian serupa dipakai oleh Haevan dan Mark yang berada pada kanan kiri pria itu. Keduanya tampak tampan dengan setelan jas hitam dan biru andalan mereka.
Yang satu berdasi cokelat, sementara yang lain memilih untuk melepas kancing teratasnya dengan gaya casual formal.
Di sisi lain, Yena yang baru datang memilih duduk di sebelah Haevan, sementara Zelo harus mengalah berada di samping Mark karena kursi ujung yang berhadapan dengan Faris sudah diakuisisi oleh Vera.
"Hari ini kamu juga kuliah, Zel?" tanya Faris pada anak itu.
"Iya, Om. Minggu-minggu padat, harus bolak-balik ke kampus tiap hari..."
"Kalau Yena? Hari ini juga mau keluar?"
Yang ditanya langsung menoleh. "Iya, Om. Mau beli perlengkapan bayi buat bulan depan. Takut kalau terlalu mepet nanti nggak sempet," sahut wanita itu masih menikmati sarapannya.
"Loh? Hari ini? Sama siapa?" tanya Vera ikut kaget.
Diam-diam topik itu membuat Mark ikut melirik kecil. Sejak percakapannya dengan Jeno di gym center tempo hari, Mark berusaha bersikap biasa jika menyangkut Yena.
Hal ini didasari atas saran Jeno yang menyuruhnya untuk tetap menjaga wanita itu secara normal. Pria itu melarangnya untuk menjauh atau bereaksi berlebihan. Ia masih ingat kata-kata Jeno saat itu.
"Sampai bayi yang dikandung Yena lahir, lo tetep harus jaga dia layaknya suami. Tepati janji lo ke Om Prama sampai waktu yang tersisa...."
"Setelah itu, biarin Yena menentukan pilihannya."
"Jika dia memang ingin menikahi Kak Wildan, lo harus terima itu dan belajar menjauhinya...."
Frasa itu seakan menempel pada kepala Mark, memenuhi otaknya tiap malam hingga ia tidak bisa tertidur.
Bagaimana bisa ia belajar untuk menjauh jika Yena adalah satu-satunya orang yang ia cinta?
Akan sangat munafik jika Mark mengatakan jika itu adalah hal yang mudah dilakukan. Jujur, dalam hati terdalamnya, ada rasa egois untuk memiliki Yena dan bayinya.
Menyedihkan memang.
"Sama Kak Wildan, Tan. Nanti jam sembilan dia datang terus kita ke mall. Deket sini kok, belanjanya juga nggak banyak, nanti kalau misal ada yang kurang beli lagi..." jelas Yena memberitahu.
Di situ Faris tersedak.
"Sama Wildan?"
"Perasaan tiap hari Om lihat kalian keluar bareng terus deh. Kalian deket? Atau jangan-jangan ada sesuatu lagi di antara kalian?"
"Ng-nggak ada kok, Om. Kita cuma temenan. Kebetulan aja Kak Wildan senggang hari ini jadi aku mintain tolong buat temenin beli perlengkapan bayi..." elak Yena cepat.
Percayalah, jawaban itu membuat atmosfer meja makan jadi terasa aneh.
Tentu saja ganjil. Yena meminta Wildan untuk menemaninya belanja perlengkapan bayi di saat ayah si bayi sendiri sebenarnya juga ada.
Sementara itu Mark memilih diam, pura-pura sibuk dengan roti isinya. Meski dalam hati cemburu sesak, kali ini ia tidak ingin bersikap melampaui batas dengan melarang mereka untuk keluar.