7

12 6 20
                                    

Chapter Tujuh

Happy Reading!

****

Aster terlihat sangat bahagia diajak keluar oleh Amanda. Selama ini ia sangat jarang bahkan bisa dikatakan tidak pernah keluar dari rumahnya karena larangan dari ayahnya. Bahkan sekolah pun ia di rumah, homeschooling.

Jeff sangat posesif ke semua orang yang ia sayangi, tak heran jika selama ini ia melarang Aster keluar dari rumah. Ia takut jika orang yang ia sayangi tersakiti di luaran sana, walaupun tanpa Jeff sadari dirinyalah yang menyakiti orang-orang yang ia sayangi.

Dan kali ini, Jeff harus mengizinkan Aster keluar rumah dengan istri tercintanya. Tanpa sepengetahuan istrinya, Jeff menyuruh orang agar mengikuti kemanapun kedua wanita yang ia cintai pergi. Ia juga menempelkan alat pelacak pada jepit rambut yang putri kecilnya kenakan, entah kenapa ia belum bisa mempercayai istrinya sepenuhnya.

"Ibu, mau kemana kita?"

Amanda tersenyum penuh arti pada putri Jeff, "Kita akan bersenang-senang, Sayang."

Tak lama mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah mewah berwarna putih tulang. Amanda menuntun Aster memasuki rumah itu dan menyuruh Adit meninggalkan mereka disini.

Amanda mengedarkan pandangannya ke pelataran rumah itu dan tidak melihat tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Biasanya saudari kembarnya dan kedua orang tua selalu bersenda gurau di sana, tapi sekarang tidak.

'Kemana mereka? Apa sedang menemui pembunuh bayaran untuk membunuhku?' batin Amanda bertanya-tanya.

Aster menarik tangan Amanda ke arah samping kanan rumahnya, anak kecil itu tertarik pada kucing yang mengintip dari balik tembok tadi.

Dengan gemas Aster menangkap dan langsung menggendong kucing ras Persia berwana putih polos itu, "Apa kucing ini boleh untukku? Aku sangat menyukainya!"

'Itu kucing kesayangan Ananda' batin Amanda. "Ambil saja jika kau suka, Sayang. Apapun yang kamu suka akan ibu berikan."

"Yeay, terimakasih, Bu."

Amanda mengajak putri kecilnya itu memasuki rumahnya dan memanggil-manggil kedua orang tuanya agar keluar. Tak lupa ia juga memanggil kembarannya yang teramat ia sayangi.

Dan secara bersamaan kedua orang tuanya dan Ananda keluar menuruni tangga, menghampiri Amanda dengan seorang anak kecil yang sedang duduk di sofa. Disaat mereka sudah berada di dekat Amanda, dengan tiba-tiba Aster mendekati Ananda dan langsung memeluknya sangat erat sampai membuat Ananda merasa risi.

"Jangan terlalu erat, Sayang, nanti Bibi cantikmu ini nggak bisa nafas dan mati," Amanda mendekati putrinya dan menyuruhnya melepaskan dekapannya pada Ananda, "Ananda. Dia, Aster, putri Jeff."

"Putri Jeff? Bukannya dia belum pernah menikah?" sahut Adiguna, Ayah Amanda.

Aster menatap Adiguna, raut wajahnya jelas sekali menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan Adiguna. "Ya, ayah memang belum pernah menikah! Tapi aku memang anaknya!"

"Udah Aster, jangan marah-marah. Katanya mau bersenang-senang di sini, kok malah marah-marah sih."

"Mom, ich mag diesen Bastard nicht. Ich möchte diesen dicken Mund wirklich aufreißen," ucap Aster pada Amanda, ia berharap ibunya tau apa maksud dari perkataannya.

[Bu, aku tidak suka bajingan itu. Ingin sekali aku merobek bibir tebalnya itu]

Amanda terkekeh mendengar apa yang dikatakan Aster, ia sangat tahu betul maksud dari apa yang gadis kecil itu katakan karena ia bisa berbahasa Jerman. Dulu, ia pernah tinggal beberapa bulan di sana.

"Oh, Schatz, ich hasse es auch so sehr. Lasst uns Spaß mit ihm haben!"

[Oh, sayang, aku juga sangat membencinya. Mari bersenang-senang dengannya!]

Ananda menatap kembarannya dan putri Jeff secara bergantian, sungguh ia sangat penasaran apa yang sedang mereka katakan dan dengan bahasa apa itu, "Apa yang sedang kalian bicarakan? Bahasa apa itu?"

"Tadi itu bahasa Jerman, Bibi, apa kau tidak pernah sekolah? Atau jangan-jangan karena penyakit sialanmu itu kau tidak diperbolehkan untuk sekolah sama Kakek buncit ini?" cerocos Aster pada Ananda, sungguh gadis kecil itu sangat tidak sopan pada Adiguna. Ia dengan berani menyebut Adiguna dengan sebutan kakek buncit. Memang perut lelaki paruh baya itu bisa dikatakan seperti sedang mengandung tujuh bulan.

"Jangan asal bicara kamu! Saya menyekolahkan kedua putri saya sampai kejenjang kuliah! Dan jangan pernah kau panggil saya dengan sebutan kakek buncit, saya bukan kakekmu!"

"Jaga ucapanmu, Ayah! Dia, anakku juga dan secara tidak langsung dia adalah cucumu."

"Biarkanlah Ibu, Aster juga tidak mau punya kakek seperti dia. Aku lelah, ingin beristirahat. Dimana aku bisa beristirahat, ibu?"

"Kau naik ke lantai dua dan masuklah ke kamar yang warna pintunya berbeda sendiri," perintah Amanda pada putrinya dan Aster langsung melenggang pergi.

Saat melewati Ananda, dengan sengaja Aster menjatuhkan gelang yang ia pakai, gadis kecil itu menyuruh Ananda mengambilkan.

Ananda yang ingin mengambil hati Aster agar Jeff menyukainya pun mengikuti apa yang anak kecil itu mau. Ia mengambilkan gelang Aster, tapi saat ia ingin memungut gelang itu tiba-tiba tangannya diinjak oleh Aster.

"Akh, Aster! Kenapa kau menginjak tanganku!" teriak Ananda.

Aster menundukkan pandangannya seolah ia takut karena dibentak oleh Ananda, "Maaf, bibi."

Amanda dengan cepat menghampiri kembarannya dan ...,

Plak!!!!

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Ananda, segitu kuatnya sampai membuat gadis itu menoleh ke arah kanan. Entah emang begitu kerasnya tamparan Amanda atau emang Ananda nya yang lemah sampai-sampai pipi kiri Ananda berwarna merah.

"Jangan bentak Aster!" Amanda membawa Aster pada dekapannya, pandangannya masih menatap pada kembarannya, "aku tidak akan segan-segan melukai orang yang menyakiti putriku, tak terkecuali itu keluargaku sendiri. Ecamkan itu!"

Amanda menggendong Aster dan membawanya menaiki tangga menuju kamarnya. Ia tidak bisa berlama-lama dengan orang-orang toxic seperti keluarganya itu. Jika saja waktu itu ia tidak menonton video cctv bersama suaminya, mungkin sekarang ini ia masih menyayangi keluarganya seperti dulu.

"Harusnya ibu menampar Bibi jelek itu seratus kali biar mati sekalian," bisik Aster dengan menampilkan senyuman mautnya.

"Belum saatnya wanita gila itu untuk mati."

Disaat Amanda dan Aster sudah berada di kamar, Ananda berlari menghampiri ibunya dan menangis di dekapannya.

"Hiks, Ibu, Manda-Manda menamparku. Apa aku salah membentak anak itu, dia menginjak tanganku. Liat Ibu," Ananda menunjukkan tangannya yang masih berwarna merah akibat ulah Aster, "pipiku terasa sangat sakit, Ibu."

"Udah kamu jangan menangis, tidak lama lagi dia akan mati dan kau akan menjadi ibu tiri anak kecil itu. Dan setelah itu kau bebas melakukan apapun pada anak kecil itu. Kalau perlu, kita akan bunuh juga anak kecil itu secara perlahan," ucap Adiguna menenangkan putri kesayangannya itu.

Adiguna mengajak istri dan putrinya masuk ke ruang keluarga, ia juga menyuruh istrinya mengobati luka Ananda. Padahal tidak diobati juga nanti sembuh sendiri, tapi dia terlalu khawatir pada putrinya itu. Luka tamparan dan injakan kaki anak kecil tidak akan membuat seseorang mati kan?

Adiguna selalu saja mengkhawatirkan hal-hal kecil tentang putrinya, bukan putrinya melainkan salah satu putrinya. Hanya Ananda. Amanda? Dia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang ayahnya. Bagi Adiguna putrinya hanya satu, Ananda.

_ _ _ _ _ _ _ _

Hai, gimana nih kabar kalian semua? Oh ya semangat yah puasanya kalian!Suka ga nih sama Si kecil Aster??

Oke, see you next part 😉

Jeff And AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang