17

3 0 0
                                    

Chapter Tujuh belas

Happy Reading!

*****

“Kamu adiknya Adit?”

Luna hanya mengangguk sambil memilin tali tasnya, menatap ujung sepatunya. Canggung, itulah yang ia rasakan kali ini. Didepannya, berdiri lelaki yang menjabat sebagai kepala sekolah barunya dan sekaligus teman dekat Adit, kakak tiri barunya.

Sapta, kepala sekolah SMA Pelita Jaya mendekat pada Luna dan hal itu membuat Luna mendongakan kepalanya menatap lelaki itu. Sapta tersenyum ramah padanya sambil berucap, “Adit meminta saya untuk mengawasi dan menjagamu, jadi saya harap kamu betah dan dapat beradaptasi di sekolah saya. Jika ada yang kamu butuhkan, jangan sungkan menghubungi saya.”

“Baik, Pak.”

Sapta lagi-lagi tersenyum padanya, entah apa yang ada dipikiran lelaki itu. Dan hal itu membuat Luna sedikit takut. Karena tidak mau terlalu lama di dalam ruangan kepala sekolah, Luja menanyakan dimana kelasnya dan setelah itu Sapta mengantarkan Luna ke kelas barunya.

Sepanjang perjalanan menuju kelas barunya, yang ternyata berada dilantai tiga, banyak pasang mata yang menatap kearah Luna. Mungkin karena wajah asing Luna atau wajah tampan kepala sekolah ini karena sejak tadi Sapta selalu menampilkan senyumannya yang sangat jarang ia tampilkan selama ini. Jika kalian berpikiran bahwa kepala sekolah itu tua bangka, jelek, itu semua salah. Sapta memiliki wajah yang cukup tampan, dan masih lajang.

“Ini kelasmu! Jika ada sesuatu jangan sungkan menghubungi saya,” ujar Sapta pada Luna sebelum meninggalkan gadis itu di depan kelasnya.

Setelah Sapta pergi, Luna melirik ke dalam kelas yang ternyata sudah ada guru yang sedang mengajar. Ia bimbang apakah tidak apa-apa jika ia masuk sekarang? Harusnya tadi Sapta sekalian mengantarnya kedalam sekalian kan?

Saat sedang berperang dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya membuat ia menoleh ke belakang. Dan ternyata yang menepuk pundaknya, salah satu siswa. Saat dilihat dari name tag nya, siswa itu bernama Evan Sabian.

“Lo anak baru ya? Gue liat tadi lo dianter Pak Sapta.”

Luna hanya mengangguk, lalu siswa itu kenbali bersuara. “Ngapain masih disini? Yok masuk!”

Siswa bernama Evan itu berlalu masuk kedalam kelas dan dengan ragu-ragu Luna mengikuti langkahnya. Evan menghampiri guru yang sedang mengajar dan meminta maaf karena telat. Ia beralasan harus menjemput siswi baru ke ruangan kepala sekolah atas permintaan Pak Sapta. Dan dengan alasan itu, Bu Nila, guru yang sedang mengajar memperbolehkan Evan duduk dan meminta Luna memperkenalkan diri didepan teman-teman barunya.

Luna tersenyum, lalu memperkenalkan dirinya. “Selamat pagi, perkenalkan saya Aluna Prameswari bisa dipanggil Luna. Saya pindahan dari SMAN 03 Bandung. Sekian perkenalannya, untuk kedepannya semoga saya bisa cepat beradaptasi dengan kalian.”

Salah satu siswa yang duduk di pojok mengangkat tangan dan bertanya, “Udah kelas tiga, kenapa pindah?”

“Kelas sebelah juga ada anak baru, Lang,” celetuk siswi yang duduk di barisan kedua.

“Yee mana gue tau!”

“Udah-udah! Luna silahkan duduk ditempat duduk yang kosong,” perintah Bu Nila. “Mari kita lanjutkan pelajaran pagi ini.”

Luna memilih duduk di barisan ke dua, dan setelah ia duduk siswi yang duduk didepannya langsung menoleh kebelakang dan mengajaknya berkenalan. Namanya Rani, cantik dan sepertinya baik. Itu lah kesan pertama Luna pada siswi itu. Ketika istirahat, banyak teman-teman kelasnya yang mendekatinya dan mengajak berkenalan. Karena Luna orangnya mudah bergaul jadi banyak yang merasa senang berada didekatnya.

Ternyata hari pertama Luna berjalan dengan baik, ia sangat bersyukur mendapatkan teman baru yang sangat baik. Sekarang Luna berada di depan gerbang sekolah, memperhatikan kendaraan yang sedang keluar satu persatu. Didalam hatinya ia mengagumi para kendaraan mewah yang keluar dari sekolah barunya. Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya ke halte yang berada didepan sekolahnya.

Luna sesekali mengecek ponselnya, tetapi belum ada pesan masuk dari Adit. Ia sedikit khawatir, pasalnya ia sudah setengah jam ia menunggu tetapi Adit belum juga menjemputnya. Tadi pagi, lelaki itu memintanya menunggunya jadi ia tidak pulang menggunakan bus.

“Nunggu jemputan atau bus?”

Luna mendongakan kepalanya dan melihat Evan yang ikut duduk di sampingnya, “Nungguin Kakak, kalo kamu?”

“Nemenin cewe takutnya digondol preman kompleks.”

“Oh, cewek kamu masih di dalam?” tanya Luna dan bersamaan dengan datengnya mobil Adit, “Aku duluan ya, Kakak udah jemput. Bye Evan,” ucapnya sambil melambaikan tangannya dan berjalan masuk ke mobil Adit. Hal itu membuat Adit mengeratkan pegangan tangannya pada setir mobil.

Ketika Luna sudah duduk di jok sebelah, Adit memakaikan sabuk pengaman lalu melajukan mobilnya. Ia tidak mengajak Luna mengobrol dan hal itu membuat Luna merasa canggung. Apalagi raut muka Adit yang tidak bersahabat membuat Luna sedikuti takut.

Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Luna bertanya, “Kak Adit kenapa? Luna buat salah ya?” Namun tidak ada jawban dari Adit. “Padahal Luna mau cerita tentang hari pertama di sekolah, tapi Kak Adit kayaknya lagi nggak mood. Ya udah deh, nanti Luna cerita sama Nenek aja.”

“Kakak cuma kecapean, maaf ya.”

Luna menoleh kearah Kakak tirinya, tersenyum lalu berucap, “Kakak kalo cape istirahat, atau mau Luna pijat biar capenya hilang.”

‘Shit denger kata pijat doang dia udah bangun

“Nggak usah, Kakak cuma butuh tidur yang cukup.”

Sesampainya mereka dirumah, Adit menyuruh Luna makan terlebih dahulu sebelum beristirahat. Ia sudah membelikan makanan sebelum menjemput gadisnya itu. Mereka makan bersama dan setelah itu Adit pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.

Dalam perjalanan menuju rumah Jeff, ia mendapat telepon dari rumah sakit yang mengabarinya bahwa Nek Harum sudah diperbolehkan pulang. Lantas Adit meminta salah satu anak buahnya untuk menjemput Nek Harum dan mengantarkannya ke rumah barunya.

Baru juga sampai dirumah Jeff, Adit melihat bosnya itu sedang membujuk istrinya dihalaman rumah. Ia mengurungkan niatnya untuk menghampirnya. Ia terkekeh geli melihat sisi bos nya yang sangat manja pada istrinya, tetapi ia juga kasian mengingat putri bos nya tidak mengenali ayahnya sendiri. Ia jadi ragu memberitahu fakta itu disaat seperti ini. Mungkin ia akan mengurungkan niatnya itu.

“Keluarlah Dit, aku sudah tahu kau menguping pembicaraan kita!” ucap Amanda.

Adit dengan perlahan melangkah kakinya mendekat pada mereka, “Maaf, Nyonya, saya tidak berniat menguping pembicaraan kalian,” ucapnya sambil menundukkan badannya.

“Sudahlah, lebih baik kamu bawa bosmu pergi dari sini.”

“Kenapa?”

“Saya mual melihat muka jelek bosmu! Rasanya ingin membuangnya ke hutan Amazon,” cibir Amanda.

Adit tersenyum jail pada Amanda, “Ah, jangan-jangan Nyonya hamil ya? Makanya mual-mual?!”

“Wah benarkah Amanda? Apakah Jeff junior sudah tumbuh disini?” tanya Jeff sambil mengusap perut rata Amanda, membuat wanita itu bergidik ngeri.

“ASTER NGGAK MAU PUNYA ADIK!”

__________

Allow 🙌🏻
Gimana nih sama part ini? Ni kalo Amanda beneran hamil gimana ya?

Salam manis, pinky
See you …

Jeff And AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang