Mula-mula

640 39 0
                                    


Aku memasuki kamar dengan dua koper di tangan. Menyalakan saklarnya dan melihat sekeliling. Ruangan kamar yang didominasi warna putih dan abu ini tampak begitu maskulin. Apalagi bau Kelana sangat pekat di sini. Ah Kelana, lelaki itu sudah menjadi suamiku sekarang.

Lalu pandangan mataku menangkap sesuatu yang membuatku mengerutkan dahi. "Mas! Kamu pasang lukisanku di situ?!" tanyaku sambil berdiri dan mendongak.

Ini pertama kalinya aku memasuki kamar Kelana, setelah bulan madu yang hanya tiga hari. Kenapa hanya tiga hari? Jawabannya karena Kelana ada meeting penting terkait kelanjutan invertor baru projek restaurannya. Selain itu, kasihan Kara jika ditinggal terlalu lama bersama bersama ibu Ami -mertua Kelana dari almarhumah istrinya-. Aku cukup kaget saat tahu kalau lukisan bertajuk 'Frekuensi' yang dulu ku berikan kepada Kelana di Cafe Bendera, di pajang di dinding kamarnya. Lukisan yang menjadi saksi kecerobohanku memutuskan sesuatu dengan sepihak dan membuat aku dan Kelana menjadi berjarak.

Aku tertawa sumbang mengingat hal itu.

Bagaimana ya? Aku adalah perempuan yang sudah lama single diusiaku yang ke 26, hidupku masih bebas kesana-kemari, melakukan aktivitas yang aku suka, berteman dengan siapa saja. Aku bagaikan burung yang masih senang-senangnya terbang tinggi-tinggi, lalu Kelana-si duda beranak satu- datang di kehidupanku dan mengajakku menjalin sebuah komitmen serius. Jiwaku yang masih membara dan bebas ini jelas meronta. Banyak ketakutan dan kekhawatiran yang terus bercokol di kepala tentang nasibku setelah berkomitmen dengannya. Pertanyaan; aku masih bisa mengejar mimpi atau tidak, aku masih bisa berteman dengan banyak orang atau tidak, dan aku masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan atau tidak serta banyak lagi sudah mengakrabiku sejak awal.

Namun, seiring berjalannya waktu, Kelana terus meyakinkan aku bahwa semua akan tetap baik-baik saja, bahwa aku masih tetap bisa mengejar mimpiku, masih tetap bisa bersosialisasi dan melakukan kegiatan-kegiatan menyenangkan lainnya. Cara berpikirku pelan-pelan berubah seiring bertumbuhnya perasaan cinta pada Kelana. Ia seperti lelaki yang memang sengaja semesta hadirkan melalui rangkaian-rangkaian takdir kecil untuk membuat hidupku lebih punya tujuan dan teratur. Di detik ini, aku bersyukur dan semoga selamanya aku bisa merasa seperti ini.

Kelana baru masuk dari pintu penghubung kamarnya dan kamar Kara, ia menghampiriku setelah menidurkan Kara di kamarnya sendiri. Tangannya merangkul pundakku "Bagus soalnya." jawabnya yang agak terlambat.

Ya, yang namanya bagus itu relatif dalam sebuah karya seni. Namun sumpah, dulu aku bahkan membuat lukisan itu spontan dan tidak ada niat-niatnya sama sekali. Alat seadanya, objeknya juga hanya coretan-coretan abstrak membentuk kepala dua orang yang saling terhubung oleh kabel-kabel tak beraturan. Menurutku lebih bagus lukisan gunungku jaman SD, yang dibuatnya sehari semalam sampai ngantuk-ngantuk. Lukisan ini sama sekali tidak ada effort-nya bagi aku si pembuatnya. Namun bisa dihargai sedemikian rupa oleh Kelana, di pajang tepat di depan ranjangnya pula dan otomatis akan dilihatnya setiap hari, mendadak pipiku jadi panas.

Apalagi sekarang yang ia lakukan bukan hanya merangkul pundakku saja, tapi juga mengusap lenganku lembut. Wajahku semakin panas dan aku yakin Kelana sekarang menyadari kalau wajahku mulai memerah.

"Aku mau mandi dulu ya mas, gerah!" Ku lepaskan tangan Kelana dari pundakku dan menjauh darinya. Aku tidak mau ia melihat sikapku yang mulai salting.

"Rin..." panggil Kelana. Di depan kamar mandi, aku menoleh. "Mau saya temenin?" Sedetik kemudian Kelana tersenyum aneh dan aku baru sadar sesuatu kalau itu penawaran yang jail. Tahu kan?

Langsung saja ku tolak mentah-metah. Sungguh ini sudah malam sekali, hampir pukul satu pagi dan harusnya setelah selesai bebersih, kita bisa langsung tidur. Besok Kelana juga kan berangkat pagi-pagi. Ide yang buruk jika aku menerima penawarannya.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang