Perkara chat

323 25 2
                                    

Celotehan-celotehan Kara cukup bisa mengalihkan perhatian Kelana dariku dan topik soal chat, terlupakan. Apalagi sekarang bunda juga sedang mengobrol dengan Kelana. Aku menghembuskan nafas lega. Jujur saja, aku tidak berniat bohong padanya kalau tadi Kelana masih penasaran.

Setelah aku membalas pesan Hanggana dengan singkat; Amin, makasih, Ngga. aku masukkan lagi ponsel ke saku dan fokus melihat pentas tari sambil memangku Kara.

"Bubu, baju mereka bagus ya." kata Kara, menunjuk kostum para penari.

"Iya bagus, ada kerlip-kerlipnya."

"Gak dingin?" tanyanya.

Mungkin karena penari itu menggunakan kemben dan bahu terbuka, Kara mengira mereka kedinginan.

"Gak dong sayang, itu memang baju khusus nari. Nanti kalau udah selesai pasti ganti baju."

Kara manggut-manggut. "Bubu, Kara mau itu." tunjuknya ke salah satu penari paling depan.

"Apa? Bajunya?"

"Rambutnya panjang."

Aku mendongak dan melihat rambut para penari memang panjang-panjang sepunggung. "Oh, Kara mau punya rambut yang panjang kayak mbak itu?"

"Iya. Boleh?"

"Boleh dong, Kara kan perempuan, jadi harus punya rambut panjang."

"Tapinya kata ayah gak boleh, nanti susah."

Kalau dipikir, sejak pertama kali melihat Kara sampai sekarang, rambut anak ini memang selalu sebahu, atau kadang lebih pendek. Mungkin Kelana tidak mau terlalu ribet mengurus rambut Kara. Apalagi anak kecil ini belum bisa merawat rambutnya sendiri. Kemarin saja setelah pulang dari honeymoon singkat, Kelana mengajak Kara ke salon untuk potong rambut.

"Emm... Gimana kalau Kara udah agak besar punya rambut panjangnya? Kan sekarang Kara belum bisa keramas sendiri, sisir dan ngucir sendiri. Kelas lima SD deh, boleh." aku berusaha kompromi dengannya. Salah-salah ia merengek sama ayahnya minta rambut panjang kalau ku beri alasan yang tidak jelas.

"Tapinya masih lama bubu" tanyanya sambil manyun dan bersidekap tangan.

"Kanapa ini cucu eyang bunda, kok manyun?" bunda tiba-tiba sudah berbalik ke arah kami.

Kini, bunda juga ikutan turun tangan memberi pengertian ke Kara. Dipikiran anak itu, manjangin rambut itu tinggal ke salon saja, sama secepat mendekin rambut. Ia tidak tahu kalau panjang ya harus ditunggu tumbuh dulu. Ya begitulah. Menjawab pertanyaan penasaran dan random anak kecil, orangtuanya juga jadi ikutan mikir. Harus logis dan lugas.

Beberapa saat kemudian, bukannya Kara mengerti, malah menangis. Aduh tepuk jidad. Mana jadi banyak yang lihatin pula. Akhirnya, Kelana menggendong Kara. Ujung-ujungnya, kita memutuskan untuk pamit pulang ke bunda, sebelum mengganggu banyak orang yang mau nonton pentasnya. Sebagai gantinya, Kara mau makan ayam goreng di McD.

"Yaudah, kalian hati-hati ya. Kasihan, mungkin Kara ngantuk." ujar bunda sambil mengelus punggung Kara di gendongan Kelana. Aku lalu memeluk bunda sebelum pergi. "Oh ya, kemarin dapat salam dari adiknya tante Rasti, ingat gak? Hangga. Kemarin dia jadi fotografer kita lagi sebelum pentas. Katanya salamin buat Rindu, maaf juga gak bisa dateng waktu kalian nikah."

"Iya, tadi udah chat aku kok."

Tunggu! Aku langsung terdiam dan mengerjapkan mata. Seperti ada yang salah dengan omonganku. Seketika aku menoleh ke arah Kelana yang sudan melihatku dengan tatapan tak terbaca. Sumpah aku keceplosan! Hampir saja aku memukul kepala sendiri, tapi sadar ini ditempat umum.

Di mobil, Kelana tidak bilang apa-apa. Sikapnya seperti biasa saja. Tapi itu justru membuatku sedikit takut. Bagaimana kalau dari sikap biasanya ini, Kelana sedang berpikir bahwa aku mau membohonginya? Ahhh aku semakin kalud dan tidak tenang.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang