Meluruhkan ego

345 24 2
                                    

Kelana POV

Setelah sepeninggalan Sasti dan adanya Kara, aku hidup bagaikan robot. Seperti di set untuk teratur, disiplin dan monoton. Rasanya tidak ada alasan lagi untuk tersenyum kecuali melihat tingkah Kara, terlalu susah untuk alasan lain. Atau sebenarnya memang tidak ada. Kata Rindu saat pertama kenal, aku seperti kanebo kering saking kakunya. Ya, aku mengakui itu.

Kini, hari-hariku ada yang mengisi, menambah semangat dan gairah untuk lebih hidup. Aku punya alasan menjadi lebih manusiawi sekarang, karena keberadaan Rindu dan Kara.

Rindu banyak memberi warna dalam hidupku.

Seminggu menikah, aku merasa bersalah karena belum bisa meluangkan banyak waktu untuknya, bahkan sebatas ngobrol.

Seminggu kedepan, kesibukanku tidak tertebak. Aku harus mengurus restoran yang mau buka cabang di beberapa tempat. Belum lagi meeting bersama investor, managemen bisnis dan banyak lagi. Itu semua menyita waktuku.

Maka, aku bilang padanya kalau mesra-mesranya kecil-kecilan dulu ya. Nanti setelah semua beres dan launching restoran selesai, aku punya rencana mengajak Kara dan Rindu liburan.

Sore ini, pekerjaanku selesai lebih awal. Ya tentu saja aku gunakan waktu sebaik-baiknya untuk menjemput Rindu di galeri. Membantunya membawa beberapa alat lukis ke rumah.

Aku sudah menghubungi Sadam, teman yang berprofesi sebagai arsitek yang sering aku gunakan jasanya selama ini. Meminta tolong untuk mendesainkan studio untuk Rindu. Aku ingin ia punya tempat yang nyaman, aman dan layak untuk berkarya. Sementara, kini ia memakai kamar tamu dulu untuk menaruh alat lukisnya.

Di perjalanan pulang, Rindu banyak terdiam. Menikmati pemandangan jalanan. Lalu ia bertanya sesuatu yang membuatku tergagap. Rindu ingin aku mengajaknya ke makam Sasti.

Selama ini, aku memang tidak pernah bercerita apapun soal Sasti pada Rindu, kecuali sepenggal informasi jika Sasti meninggal saat melahirkan Kara. Hanya itu. Kisahku dengan Sasti belum kuceritakan padanya. Bahkan saat meminta restu ke makam Sasti pun, aku melakukan sendiri tanpa mengajak Rindu.

Kali ini, Rindu sendiri yang meminta aku mengajaknya. Mungkin ini sudah saatnya aku memperkenalkan dengan mendiang Sasti. Jadilah, kita mampir ke makam Sasti. Tanpa disangka, Rindu begitu antusias mengenalkan diri, bercerita panjang di depan makam Sasti seperti yang aku lakukan selama ini.

Mataku sama sekali tak lepas memperhatikan Rindu dengan seksama. Tanpa sadar, aku justru menemukan persamaan Rindu dengan Sasti; cerewetnya, celotehannya yang begitu menyenangkan. Aku suka cara mereka berbicara, mengutarakan sesuatu dengan panjang dan penuh ekspresi. Aku suka.

Hatiku penuh seketika. Kerinduanku pada Sasti selama ini, terobati. Bagaimanapun, Sasti akan terus ada di dalam hatiku, meski raganya tak lagi ada. Sebab ia adalah ibu dari anakku, seorang yang pernah menjadi bagian penting dari kisahku. Aku tidak bermaksud menggantikannya dengan Rindu. Rindu... Tentu juga menempati bagian penting hidupku saat ini dan seterusnya, tapi di sisi hati yang lain.

Maka, saat aku menemukannya melamun di perjalanan pulang dan tiba-tiba ia mengasingkan diri dengan mandi dengan waktu yang lama, minta ijin untuk menyendiri dengan dalih melukis, aku sudah mencurigai bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Tidak sulit menebaknya, hanya saja, membuat Rindu mengatakan apa yang ia rasa, adalah tantangan tersendiri.

Saat berhasil memancingnya untuk bercerita, aku justru yang tidak habis pikir dengan pikirannya yang ajaib. Ia mempermasalahkan mengapa aku selalu menggunakan kata 'saya', sementara saat aku mengobrol dengan mendiang Sasti, menggunakan 'aku'. Kilatan cemburu dimatanya tampak kentara saat mengatakan itu semua.

Ya, Rindu sedang cemburu.

Ia masuk ke kamar tamu dan membawa serta kopinya. Suara pintu itu tertutup agak keras dan menguncinya dari dalam. Hatiku tercubit oleh sikapnya yang begini.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang