Recovery

376 33 0
                                    

Badanku semakin membaik. Semalaman tidurku cukup setelah aku dan Kelana menangis, menumpahkan segala kesedihan bersama. Mungkin karena lelah.

Kelana terus berusaha menenangkanku bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya keluar dari mulutku. Ia bilang, aku tetap ibu yang baik untuk Kara. Ia bilang, aku istri yang baik untuknya. Namun, tetap saja, aku merasa tidak percaya dengan diriku sendiri. Lalu bagaimana perasaanku sekarang? Masih sama hancurnya, masih sama hampanya bahkan saat Kelana tidur memelukku sampai pagi. Pikiranku masih mengawang setiap ada kesempatan untuk melamun.

Siang ini kita pulang ke Jogja. Aku melihat bergantian jam dipergelangan tanganku dan jadwal penerbangan di layar. Masih 30 menit lagi menunggu jadwal keberangkatan pesawat. Aku merasa butuh asupan yang manis karena sejak kemarin, lidahku rasanya pahit.

"Mas, Aku mau beli es krim bentar."

Kelana yang sedang membuka ponselnya, langsung menutupnya. Alih-alih mengangguk, ia justru berdiri dengan cepat.

"Biar aku yang beli, mau rasa apa?"

"Aku bisa beli sendiri mas." rencananya mau sekalian lihat-lihat sekitar karena aku jarang naik pesawat, biasanya naik kereta. Daripada aku duduk saja dan pikiranku kemana-mana, lebih baik jalan-jalan sebentar menghilangkan penat. Namun sepertinya itu tidak akan terjadi.

Tangan Kelana menekan pundakku untuk tetap duduk. Ia menipiskan bibir menggeleng.

"Tadi pagi bilangnya masih lemes. Udah kamu di sini aja. Mau rasa apa?"

Aku menghela napas dan mengalah. "Coklat vanilla."

"Ada lagi? Roti atau cemilan?"

Aku menggeleng. Ia pun melenggang pergi. Meninggalkan aku sendiri dengan dua tas ransel milikku dan Kelana.

Karena tidak ada yang aku pikirkan, Mataku tiba-tiba saja penasaran dengan ransel Kelana yang sepertinya isinya sedikit. Saat kuangkat, juga begitu ringan.

Akhirnya aku membuka tas itu, dan ternyata hanya ada satu celana, charger, dan ipad. Pantas saja sejak kemarin Kelana pakai itu-itu saja, baju dan jaket. Rupanya ia memang tidak membawa baju. Apa Kelana terburu-buru sekali ke Jakarta sampai-sampai tidak prepare? Tapi apa yang urgent? Kalau hanya sekedar menyusulku, rasanya sudah dari kemarin-kemarin bisa ia lakukan. Ya meski ku akui, aku bersyukur kedatangan Kelana tepat waktu saat aku sedang sakit-sakitnya. Aku tidak bisa bayangkan jika aku mengalami hal buruk itu sendirian di kota besar ini. Pasti rasa sedihnya jadi berkali lipat dari ini.

"Feeling-ku buruk kemarin. Aku kepikiran kamu. Jadi dini hari banget aku ke bandara, gak sempet prepare baju dan lain-lain. Dan ternyata bener, kamu sakit."

Suara Kelana sedikit mengagetkanku saat mataku masih tertuju pada isi ranselnya dan terbengong. Lelaki ini sudah berdiri di depanku dengan dua cup es krim di tangannya. Ia tersenyum dan menyerahkan satu cup untukku, lalu duduk.

"Kara sama ibu?"

Kelana mengangguk sambil menyuapkan es krim ke mulutnya. "Iya, ibu terpaksa aku minta ke rumah, soalnya Kara gak sekolah dan aku harus meeting."

Mulutku membentuk huruf O tanpa bertanya lebih banyak.

Suasana menjadi sepi tatkala kami fokus makan es krim masing-masing. Aku juga bingung mau bertanya apa lagi. Masalahnya, apa yang terjadi denganku dan Kelana akhir-akhir ini sangat tidak mengenakkan. Di tambah dengan momen keguguran. Semua rasanya bercampur aduk dan menumpuk jadi satu. Aku sampai tidak tahu batas mana yang harus aku fokuskan. Semua masalah ini justru terlihat mengabur. Dan, saat kita bertemu kembali dengan unfinish bussiness itu, rasanya menjadi sangat canggung.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang