Studio

281 25 1
                                    

Niat untuk ke galeri siang ini, aku urungkan. Kelana mendadak mengabari kalau temannya yang bernama Sadam akan datang bersama dengannya. Seingatku, Kelana pernah bilang jika Sadam ini adalah seorang arsitek yang kebetulan juga tahu soal desain interior. Ternyata Kelana tidak bercanda saat bilang akan membuatkanku studio. Jelas alasan ini yang sejak tadi membuatku bersemangat sambil membantu mbak Ikom menyiapkan toples kue.

"Mbak Rindu duduk aja, biar saya yang siapin." ujarnya yang sejak tadi memang aku rusuhin di dapur, tapi biasanya juga begitu.

"Mbak, aku tuh juga dibayar tahu sama mas Lana. Jadi jangan heran ya kalau aku juga harus kerja kerja dan kerja di rumah ini." jawabku sambil cengengesan.

"Ya ampun mbak, tega banget mas Lana bayar istrinya suruh jadi kayak saya."

Aku tersenyum dengan pertanyaan polos mbak Ikom. "Lagian bayarannya gede, masak iya aku cuma leha-leha doang, ya kan?"

Mbak Ikom yang tidak percaya, hanya memasang wajah cengo dan mengerutkan dahinya. Kemudian ia mendekatiku dan sedikit berbisik, padahal di rumah ini tidak ada orang lain selain ia dan aku. Sebelum benar-benar berbisik, matanya berputar ke atas, entah melihat apa.

"Ngomong-ngomong, bayarannya berapa sih mbak? Sama harga tas Kremes mahalan mana?"

Aku sontak tertawa, selain suara bisikan mbak Ikom membuat telingaku geli, 'tas Kremes' juga cukup kocak. Tahu darimana pula ia merek tas seperti itu? Ya meski penyebutannya salah, tapi aku tahu maksudnya. Aku sendiri hanya sering mendengar saja kalau artis-artis suka membeli tas merk mahal itu. Waktu mau menikah kalau tidak salah Kelana juga mention merek tas itu untuk seserahan, tapi langsung aku tolak. Selain aku tidak suka memakai tas seperti itu, rasanya harganya juga terlalu mahal. Pokoknya bukan gayaku sekali. Alih-alih untuk beli tas mahal yang nantinya jarang aku pakai, aku meminta Kelana belikan seperangkat alat lukis grade A saja, kan berguna sekali.

"Gak tahu juga sih mbak harganya, tapi ini tuh pemberian yang spesial dan kayaknya gak bisa diukur pakai nominal. Misal kayak suami mbak Ikom kasih sesuatu gitu. Meskipun harganya gak seberapa tapi mbak Ikom senang." 

Mbak Ikom hanya mengangguk-anggukkan kepala kecil. "Suami saya memang sering kasih sesuau sih. Tapi mbak Rin, gimana saya mau seneng kalau tiap pulang ada aja barang aneh yang di kasih ke saya."

"Barang aneh gimana mbak?" tanyaku agak menahan tawa sebab aku berfirasat ini cerita yang lucu.

"Ya gelas peninggalan dinasti Tang lah, batu yang katanya sisa pembangunan candi lah, sendok peninggalan kerajaan Mataran, arloji punya presiden amerika. Duh pokoknya rumah udah kayak pasar loakan." katanya sambil menepuk jidadnya.

Suami mbak Ikom adalah seorag kuli, katanya sih spesialis gali tanah, maka tidak heran juga jika suka menemukan barang-barang unik yang terkubur di dalam tanah. Aku tergelak kencang saat mendengar jawabannya. Mana ekspresi mbak Ikom polos sekali. Astaga, perutku sampai sakit.

Lalu terdengar suara mobil Kelana memasuki halaman dan aku otomatis berjalan membukakan pintu masih sambil menahan tawa.

Kelana keluar dari mobil dengan seorang lelaki tinggi kurus dan berkacamata, tapi tampilannya sangat santai dan kece. Tipe-tipe pekerja freelance yang meski tampilannya sederhana, gajinya ratusan juta. Aku tersenyum menyambut mereka.

"Kenalin Dam, istriku."

Sadam mengulurkan tangannya padaku. "Sadam."

"Rindu." timpalku tanpa menyurutkan senyuman. 

Aku lantas mempersilakannya masuk. Sadam berjalan duluan di depanku dan Kelana malah mensejajariku, merangkul sekilas pinggangku dan mencuri kecupan di kepala. Seketika aku membeku atas sikapnya ini. Ya memang biasanya Kelana juga melakukan hal-hal kecil yang romantis, tapi kali ini rasanya beda saja. Entah karena dilatar belakangi niat baik Kelana yang mau membuatkan studio atau memang sikapnya kali ini dilakukan dengan penuh perasaan.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang