Worry to decide

363 30 2
                                    

Sudah lama aku tidak melakukan perjalanan jauh sendirian. Dulu, setelah lulus kuliah, aku sering solo travelling. Ya memang bukan tempat-tempat yang jauh, tapi pergi ke tempat-tempat bagus sendirian tetap selalu menyenangkan untuk ku lakukan sendiri. Aku terbiasa kesana-kemari sendiri dan mandiri. Namun, kali ini perjalanan menuju ibu kota ini, aku lewati dengan perasaan yang sedih.

Sebetulnya aku sudah lega telah mengeluarkan semua isi hatiku pada Kelana, tapi di sisi lain entah mengapa aku merasa bersalah padanya, pada Kara juga yang tiba-tiba aku tinggal tanpa pamit dengan cara yang lebih baik. Sejak pertengkaran kemarin, aku segera mungkin packing pakaian dengan ransel dan menginap di galeri. Kelana terus mengejarku dan meminta aku untuk tidak pergi, tapi aku tegas padanya. Meskipun dari semalam, Kelana terus menelepon dan mengirimkan pesan, aku masih kekeuh mengabaikannya. Ia harus tahu, bahwa aku juga punya sikap. Jika bagi sebagian orang atau bagi Kelana sendiri kecemburuan ku ini sepele, bagiku jelas tidak. Aku yang akan menjalani hidup dengan Kelana kepedannya, bukan masa lalunya yang sudah tidak ada. Aku berhak mendapatkan penjelasan semuanya supaya terang benderang dan aku tidak merasa menikahi orang misterius yang tidak ku kenali.

Aku tahu ini salah. Kabur dari rumah dan tidak menggubris usaha Kelana. Aku belum bisa jadi istri yang baik kepada suami. Namun, siapa yang tidak akan melakukan ini ketika suaminya sendiri saja sudah begitu keterlaluan dan sulit aku percaya lagi. Kelana terlalu banyak diam selama ini. Apa ini definisi cinta sendiri? berjuang sendiri?

Rendy dan Tiara sempat curiga saat aku datang ke galeri tanpa Kelana dan mataku memerah. Lalu kemudian aku bilang Kelana sedang sibuk dan mataku hanya kelilipan karena naik ojol. Sementara aku beralasan ingin mengobrol dengan mereka berdua soal karya sebelum ke Jakarta. Alasan konyol dan aku tahu mereka berdua pasti tidak akan percaya dengan melihat keadaanku yang begini. Terserah, aku hanya butuh tempat pelarian.

Kopi yang aku beli di stasiun sebelum kereta berangkat tadi, bahkan sudah dingin karena aku tinggal melamun. Pemandangan perbukitan yang harusnya tampak indah dan menakjubkan, rasanya begitu hambar. Aku menghela napas lagi dan pundakku turun dengan lemahnya.

Kira-kira apa keputusan Kelana besok lusa, saat aku pulang?

Pernikahan yang baru beberapa bulan ini akankah berakhir begitu cepatnya atau Kelana akan berusaha untuk mempertahakanku? Namun, jika bertahan dengan selaga hal masa lalu yang masih lekat pada Kelana, aku jelas tidak akan sanggup.

Bunda dan ayah juga pasti akan sangat sedih mendengar semua ini. Ah, bahkan sampai sekarang aku tidak pernah cerita hal buruk soal Kelana ke orang tuaku. Benar kata Rendy, ternyata selama ini, aku hanya memendam semuanya sendiri, makanya terasa sesesak ini.

***

Indonesia Art Exibition ini diadakan di Jakarta Convention Center. Hari pertama pembukaan di isi talkshow dengan seniman, kurator, kolektor dan profesional seni lainnya. Hari ini aku banyak berbincang dan sharing dengan orang-orang hebat. Satu hal yang selalu aku impikan selama ini kini terwujud. Mimpi ini juga menjadi alasan mengapa aku sering ikut jadi volunteer pameran di Jogja, supaya aku bisa berinteraksi langsung dengan pelaku seni. Dan sekarang, bahkan melebihi ekspektasi ku. Selain mendapat pengalaman karya yang di pamerkan dan dikenal orang, punya relasi baru, ilmu yang aku serap dari sharing ini juga adalah hal tak ternilai.

Berbaur dengan mereka membuatku punya pemahaman lebih luas soal seni yang tak hanya dipandang sebuah estetika dan keindahannya saja, tapi juga makna di baliknya dan kehidupan senimannya.

Seru!

"Jadi perempuan di lukisan ini adalah kamu?" tanya Kaisan Arwinto setelah berhasil membuatku terpaku atas kehadirannya di sampingku lima menit yang lalu.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang