Let me ask

384 34 5
                                    

Kasih bintang kejoranya yang banyak ya. Anggap aja itu sebagai bahan bakar semangatku untuk up lagi bab berikutnya ✨

Happy reading

---

Mengambang. Mungkin itu padanan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi sekarang. Dua kabar baik dan buruk baru saja aku terima dalam satu waktu sekaligus. Berpikir jernih tentu adalah hal yang sulit kulakukan sekarang. Namun anehnya, aku juga tidak menangis. Padahal perasaan sedih itu mendiami hatiku secara penuh.

Apa saking sedihnya sehingga perasaan ini menjadi mati rasa?

Dua jam lalu setelah berbagai pemeriksaan dan dokter memberikan obat untuk membersihkan rahimku, Kelana masih terus saja membantuku berjalan, memasuki taksi online yang ia pesan, dan membaringkan aku di kamar hotel dengan penuh kehati-hatian, seolah aku adalah porselen mahal. Lelaki itu menyelimutiku dan memintaku untuk beristirahat.

Sementara sejak badanku rebah di atas ranjang dan tidak bisa memejamkan mata, aku terus mengamatinya. Mengamati setiap detail ekspresinya, pergerakannya dan apa yang ia lakukan di sini.

"Rindu udah boleh pulang, bun. Tapi saya akan tetap bawa Rindu ke rumah sakit buat check up nanti sesampainya di Jogja." ujarnya sedang berbicara dengan bunda di telepon pakai ponselku.

Aku bingung menjelaskan pada bunda apa yang terjadi padaku sekarang. Aku tidak kuat berbicara, menceritakan kembali bagaimana aku tidak sadar bahwa aku hamil dan sekarang janin itu sudah tidak ada. Maka, ketika nama bunda menari di ponselku hingga tidak kunjung meraihnya, Kelana berinisiatif untuk mengangkatnya atas ijinku. Ia yang menjelaskan ke bunda semuanya, kecuali apa yang terjadi pada kita berdua selama beberapa hari ini. Bunda masih tahunya kita baik-baik saja.

"Iya. Bunda tenang dulu ya, jangan buru-buru menyusul ke Jakarta. Dokter udah kasih obat juga. Besok pagi kalau Rindu udah baikan kita pulang ke Jogja."

"...."

"Iya, pasti Saya jagain Rindu. Makasih Bun."

Kelana meraih remot AC dan menaikkan suhunya. Tangannya membenahi letak selimutku, lalu beralih mengusap dahiku dengan ibu jarinya.

Sejak bertemu di JCC tadi, kesiapanku nol. Aku sama sekali belum membuka suara untuk Kelana. Energiku tidak ada untuk sekedar menghadapinya, apalagi kondisi tubuhku yang lemas luar biasa. Mungkin ia lelah juga mengajakku bicara, jadi yang ia lakukan adalah tindakan-tindakan itu tadi.

Ia pun pergi keluar kamar tanpa pamit, entah mau kemana. Sekitar sepuluh menit, Kelana kembali dengan satu kantung plastik di tangannya. Lagi-lagi, aku masih memperhatikannya.

Ia menghampiriku. "Makan dulu ya, habis itu obatnya diminum."

Tanpa jawaban dariku, ia dengan sigap membantu untuk bersandar di kepala ranjang. Ia menumpuk bantal di belakang hingga dipastikan aku nyaman. Lalu, tangannya lihai membuka bungkus makan itu dan ternyata adalah bubur ayam. Tidak mustahil di kota besar ini penjual bubur masih ada hingga malam hari begini.

Aku baru sadar, bahwa sejak siang, perutku belum terisi apa-apa. Mungkin sejak beberapa hari lalu, pola makanku juga sudah tidak beres, kurang minum dan stress. Andai saja aku tahu bahwa di dalam perutku ada calon bayi, aku tidak akan seceroboh ini. Aku akan memperhatikan pola makanku, gerakan-gerakan ku dan kegiatan yang bisa aku tunda dulu supaya tidak terlalu lelah.

Dalam hati, tawa getir itu menggaung. Menyesali kebodohanku sendiri. Aku sama sekali tidak peka dengan tubuh sendiri.

Suapan dari Kelana itu masuk ke dalam mulut sedikit demi sedikit. Aku hanya menelannya begitu saja. Padahal bubur ayam adalah salah satu makanan favoritku, tapi hanya untuk merasakan rasanya saja, aku tidak sanggup.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang