Mengantar pulang

377 32 0
                                    

Untuk satu dan lain hal, kata-kata itu adalah yang paling tepat. Selama pernikahan ini, yang aku dapat hanya prasangka, salah paham dan banyak ketidak percayaan di dalamnya. Aku tahu aku dan Kelana punya sisi lemahnya masih-masing, punya kekurangan yang ternyata masih dibalut gengsi untuk kita sama-sama leburkan dalam pernikahan ini. Aku banyak memikirkan diriku sendiri. Aku butuh dimengerti, di hargai, dan diperlakukan selayaknya apa yang ingin aku dapatkan dari Kelana.

Sementara Kelana, sama saja. Ia hanya lelaki kecil yang terjebak di tubuh orang dewasa. Pikirannya ingin terus selaras dengan kedewasaannya, tetapi hatinya? Tentu saja ketika ia terluka, ia mendamba seseorang yang memeluknya dengan hangat dan menenangkan jiwa kecilnya. Dan aku, tidak sadar itu kemarin-kemarin.

"Tapi mas, kita gak bisa hidup seperti ini."

Ia melepaskan pelukan dan menatapku kaku. Aku tidak suka sorot matanya yang seperti ini, tapi aku tidak protes.

Kelana lantas memejamkan matanya sebentar. "Aku tahu." ujarnya lirih, ia sepasrah ini kah?

Dalam diam, aku mengingat kembali apa yang telah kita lalui selama ini. Seperti puzzle-puzzle yang tak beraturan, kemana-mana dan belum tersusun rapi. Kabar baiknya, harusnya kita bisa bekerja sama menyusunnya menjadi satu buah mozaik yang lebih baik lagi. Tentu tidak mudah dalam prosesnya dan aku, sudah memutuskan sesuatu. Kugigit bibir bawahku ragu.

Lelaki di depanku ini meraih kedua tanganku, matanya menatapku lekat. "Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki ini semua?" tanyanya begitu lugas.

"Besok... Besok kamu ada kerjaan?"

Bibirnya menipis, dan sedikit mengingat sesuatu. "Ada pengecekan konstruksi di cafe baru. Tapi aku bisa skip dulu. Gak urgent banget. Kamu mau ke suatu tempat?" ujarnya.

Aku menggeleng. "Anterin aku pulang ke Solo."

Ia kembali terlihat keheranan, karena baru tadi siang bunda pulang dan aku minta diantar pulang ke Solo besok. Aku tahu setelah ini ia akan kecewa dengan kemauanku. Tapi menurutku, ini satu-satunya cara supaya kita jadi lebih baik lagi. Paling tidak, kita bisa merenungi kembali, apa yang sebenarnya kita mau.

"Pulang ke Solo, maksudnya? Ini rumah kamu Rin."

"Untuk sementara, lebih baik kita gak bertemu dulu mas. Kita perlu refleksi, bertanya ke diri masing-masing apa yang sebenarnya kita mau dan butuhkan. Untuk masalah Kara, bilang aja aku kerja. Dia boleh video call aku setiap dia mau. Dan sebelum pulang ke Solo, tolong anterin aku ke rumah ibu Ami."

Aku sudah bersiap diri untuk penolakan Kelana, untuk segala protesnya karena ini keputusan yang ia kira mungkin tiba-tiba dan sepihak. Tapi sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak beberapa hari lalu sampai tidak bisa tidur. Sakit rasanya mengatakan ini, tapi harus. Pertimbanganku banyak sekali, bukan cuma Kelana tapi juga Kara dan juga orang-orang di sekitar seperti ibu Ami. Aku butuh meminta maaf juga kepada beliau atas tingkah lakuku yang membuatnya menilaiku seburuk itu.

Namun, Kelana tidak bereaksi apa-apa, ia masih menatapku terpaku. Matanya berkedip tenang sesekali dan aku yakini, ia cukup paham dengan perkataanku. Perlahan kurasakan genggaman tangannya mengendur dan lepas jatuh di udara.

Napasnya berhempus pelan-pelan dan tak kusangka, ia mengangguk. Apa itu artinya ia menyetujui ide ini dengan mudahnya? Jadi benar Kelana seprasah itu. Harusnya aku lega bukan? Tapi di sisi yang lain, aku juga sedih mengapa Kelana tidak menahanku seperti yang ia lakukan saat aku pergi dari rumah beberapa waktu lalu.

Aku tertawa sumbang dalam hati. Mengapa keinginan untuk pergi dan juga tetap bertahan di sisi Kelana muncul di saat bersamaan? Logikaku memutuskan untuk menepi sejenak, tapi hatiku ingin Kelana menahanku dengan segala nasihat dan kata-kata menenangannya. Apa semua perempuan juga semembingungkan ini? Atau jangan-jangan hanya aku saja?

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang