Heartbreak and misery

295 24 6
                                    

Permintaan maafku tidak diterima, tidak juga ditolak. Kelana begitu pasif saat aku menghampirinya di kamar kita setelah aku bebersih dan membereskan kekacauan di kamar tamu. Rasa cemas tiba-tiba menekanku. Kelana sama sekali tidak mau merespon apapun yang aku katakan, bahkan saat aku berusaha mengambilkan kausnya di almari setelah ia mandi pun, aku hanya dilewati. Rasanya jadi berkali lipat sakitnya, tapi aku harus bisa mengabaikan itu. Sebab, kalau aku ikut-ikutan ngambek, masalah ini mungkin akan semakin panjang.

"Mas?" panggilku memastikan lagi bahwa ia masih mendengar ku, tapi nihil.

Aku harus bagaimana lagi untuk membuatnya merespon ku? Sementara setengah jam lagi, aku harus ke galeri bertemu dengan Rendy. Aku pasti akan terus kepikiran kalau sampai ini belum beres. Apa aku batalkan saja ke galeri? Tapi aku sudah janji pada Rendy akan ke sana. Selain membahas soal karyaku yang lolos kurasi, Rendy juga mau mengupdate perkembangan sosmed galeri dan diskusi soal maintaining galeri, karena semakin banyak yang mau melukis di sana.

Ku ikuti langkah Kelana sampai ia duduk di ruang tengah. Kulihat Kara ada di sana juga sedang menonton Moana. Lalu Kelana mulai sibuk dengan ipad-nya. Sudah pasti aku lebih diabaikan kalau benda itu sudah di tangannya. Sebaiknya aku beri waktu dulu untuk Kelana, mungkin nanti sore atau malam setelah pulang dari galeri, aku akan coba mengajak Kelana bicara lagi.

Ponselku berbunyi dan itu pesan dari Rendy yang meminta aku segera ke sana.

Ku hela napas perlahan, lalu berbalik ke kamar, mengambil tas. Aku keluar dan berpamitan dengan Kelana.

"Mas, aku mau pamit ke galeri. Mungkin pulangnya agak sorean." ujarku yang hanya ditanggapi dengan anggukan sekali. Syukurlah kalau Kelana mendengarku kali ini. Aku menghampiri Kara dan mencium pipinya.

"Bubu jangan lama-lama ya. Besok kan Kara masih libur, mau main-main lagi kayak tadi sama Bubu sama ayah."

Aku hanya tersenyum. Seribu persen aku jamin, Kelana tidak mungkin akan mengijinkan lagi kita main cat seperti tadi. Ia cukup tegas kalau soal Kara. "Bubu gak lama kok. Baik-baik ya di rumah sama ayah."

Kara mengangguk lalu memeluk leherku. Setelah itu, ia menoleh ke arah Kelana. "Ayah gak nganterin Bubu?" tanyanya dengan polos. Anak ini mungkin bisa merasakan jika orang tuanya sedang bersikap berbeda, tapi ia belum paham situasinya.

"Nanti Kara di rumah sendirian." kata Kelana menjawab anaknya tanpa menoleh ke arahku.

"Kan Kara bisa ikut." kata anak itu.

Kelana hanya memandang Kelana tanpa mau menanggapinya. 

Satu tancapan yang tak kasat mata kembali menghunus dadaku. Sampai kapan Kelana akan bersikap seperti ini hanya karena masalah yang harusnya bisa kita bicarakan dengan baik-baik. Apa sefatal itu kesalahanku? Kelana tega sekali.

Aku pun beranjak dan segera pergi daripada aku menangis lagi. Aku merasa Kelana terus saja menjungkirbalikkan perasaanku atau sebenarnya, aku saja yang terlau sensitif akhir-akhir ini? Entahlah. Kupasang wajah sedatar mungkin dan tidak lagi melihat Kelana. 

***

"Gokil! Kok bisa-bisanya kamu gak bilang soal ini sih? Sok misterius banget sekarang." Rendy memberikan aku segelas kopi dan kita duduk di mini bar.

"Gak bermaksud sok misterius juga sih Ren. Aku cuma mencoba aja, gak pernah berharap dapet. Lagian seniman yang lebih bagus dan keren banyak."

"Terus gimana? Acaranya lima hari lagi. Kamu ke Jakarta dianter bojomu kan?" tanyanya.

Kedua pundakku terangkat merespon pertanyaan Rendy. Sebenarnya aku juga tidak tahu Kelana akan mengantarku atau aku akan berangkat sendiri ke Jakarta besok. Aku belum ngobrol soal ini ke Kelana, keburu ada insiden tadi pagi. Kalau memang Kelana tidak bisa mengantarku, aku pun bisa berangkat sendiri. Beberapa kali aku ke Jakarta naik kereta sendirian, it's okay. Setidaknya aku punya pengalaman dan tidak terlalu menyulitkan. Namun, aku jelas bahagia kalau Kelana mau mengantarku.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang