Luka yang sama

405 39 0
                                    

"Bubu, Kara udah berani loh, sekarang di sekolah udah gak ada yang gangguin Kara lagi. Makasih Bubu, udah ajarin Kara lawan anak nakal."

"Oh ya? Wah bagus dong, sekarang Kara bisa belajar di sekolah dengan tenang. Tapi lain kali kalau ada yang nakal lagi, jangan langsung di balas ya. Pertama-tama, nasehati dulu temannya, kalau masih nakal, baru bilang sama ibu guru. Nah, membalas itu adalah cara terakhir kalau sudah benar-benar gak bisa Kara gak punya bantuan. Oke..."

Ia mengangguk-angguk lucu.

Sejak di jemput Kelana pulang dari rumah ibu satu jam lalu, anak ini tak jauh sedikitpun dariku. Ia masih terus menempel bagai magnet. Bahkan saat aku ke toilet ia masih terus mengikutiku. Katanya ia kangen dan tidak mau pisah lagi. Nanti malam, tidurnya juga harus sama aku.

Aku tertawa saja dengan tingkah posesifnya. Seandainya ia tahu, aku juga kangen berat pada Kara dan ingin terus bersama anak ini.

Sementara Kelana, sejak masuk rumah dan membawa barang Kara, wajahnya sudah kusut maksimal. Ia terlihat lebih kurus dari beberapa hari lalu, wajahnya kuyu dan ada lingkaran hitam di area matanya. Ia memang kerja lembur terus beberapa hari ini, ya jelas ia pasti capek. Kelana mencium keningku dan pamit untuk mandi sebentar.

Aku membuka bungkus kardus berisi martabak telur dan menaruhnya di atas piring bersih. Tadi Kelana yang membelikan, sama es krim satu dus dan sekarang kulkas menjadi penuh dengan es krim. Hanya karena aku ingin es krim waktu di bandara, ia kemudian membelikan aku sebanyak itu.

Sampai di ruang tengah dan menonton film animasi sambil makan martabak, kepalaku beberapa kali menoleh ke arah pintu untuk mengecek. Kelana tak kunjung keluar kamar. Lama sekali mandinya.

"Kara kemarin sedih gak waktu Bubu gak di rumah?"

"Iya sedih, Bubu. Kara nangis terus sampai ayah capek nenanginnya."

"Eh, gak boleh gitu ya. Besok kalau Bubu gak ada di rumah, harus jadi anak baik ya. Apalagi kan ayah udah capek kerja, kalau Kara nangis terus, ayah juga ikutan sedih. Harus baik juga sama oma sama mbak Ikom... "

Kara tiba-tiba terdiam menatapku dengan intens, meski matanya berkedip-kedip. Ia merapatkan bibir mungilnya lalu kedua ujung bibirnya turun ke bawah. Anak ini mau menangis.

"Memangnya Bubu mau kemana? Bubu gak boleh pergi lagi! Tapinya kalau pergi harus sama Kara sama ayah juga. Gak boleh sendiri."

Dan... Tangisnya pecah. Ia memeluk leherku dengan erat, seolah aku akan pergi jauh dan meninggalkannya. Jujur, tidak tega melihat Kara sesedih ini ternyata saat aku tidak di rumah, tidak dalam jangkauan matanya. Ia menyayangiku begitu tulus, seperti aku adalah ibu kandungnya sendiri.

Hatiku dilema.

Kemudian, Kelana keluar kamar mendengar Kara menangis. Ia mendekati kami yang masih berpelukan erat ini.

"Kara kenapa?" tanyanya lembut sambil memegang Kara dari belakang. "Hati-hati ya nak, Bubu kan baru sembuh dari sakit. Sini pangku ayah aja. Anak ayah kenapa nangis?"

Kelana pun meraih Kara dan melepaskan pelukannya dariku. Ia mendudukkan anak itu di pangkuannya. Mengusap air mata dan menciumi pipinya.

"Kara cuma kangen sama aku aja, mas." ujarku memberitahu.

Lelaki itu menatap Kara lagi. "Anak ayah kangen sama Bubunya? Kan Bubu udah ada di rumah. Jangan sedih lagi ya."

"Tapinya tadi Bubu bilang Kara gak boleh nakal lagi kalau Bubu gak di rumah. Bubu harus di rumah terus ya ayah. Gak boleh pergi lagi." adunya masih setengah menangis.

Lalu otomatis, Kelana menatapku dan tersenyum. Ia tahu anaknya pasti pro dengannya.

"Iya, Bubu akan terus di sini kok. Ya kan Bubu?" tanyanya padaku.

Rindu Kelana 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang