FIVETEEN

1.8K 264 39
                                    

Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian dimana Rose tidak menyukai Jennie. Setelah kejadian dikamar Lisa, Rose menyadari dimana letak kesalahannya dan mau meminta maaf dengan Jennie. Dengan senang hati Jennie mau memaafkan kesalahan sang adik tersebut.

Bahkan disaat Rose mencemooh Jennie dengan kata-kata yang tak pantas, Jennie tetap bersikap baik pada adiknya. Memperlakukan Rose dengan sangat baik seperti biasanya. Mengingat itu Rose menjadi sangat bersalah dan berakhir menangis dipelukan sang kakak sambil mengucapkan beribu kata maaf.

Kini Jennie sedang berada diruangan yang sudah tidak asing menurutnya. Menunggu seseorang yang kedatangannya tidak ia inginkan. Jika sudah berada diruangan ini dan seseorang tersebut ingin menemuinya, sudah bisa dipastikan jika sesuatu hal buruk telah terjadi.

Beberapa menit kemudian terdengar decitan pintu yang dibuka dan menampilkan sosok lelaki paruh baya yang biasa ia panggil dengan sebutan 'papa'.

Minho berjalan dengan langkah lebarnya mendekati sang anak dan tiba-tiba melemparkan beberapa kertas yang dibawanya ke meja dihadapan Jennie. Perlakuannya tersebut secara tidak langsung membuat sang anak terkejut dan dengan refleks Jennie memegang dadanya dan berkali-kali mengatur nafasnya.

"APA YANG KAMU LAKUKAN JENNIE LEE ?!!!" teriak Minho marah dengan wajah yang sudah memerah.

Jennie yang diteriaki seperti itu hanya diam memandang kosong kertas dihadapannya. Ia sudah biasa diteriaki seperti ini, tetapi tetap saja ia takut.

BRAKKKKK

"Apa yang kamu lakukan disekolah ? Hah ? Kenapa nilaimu bisa turun ?!!" Minho emosi dan menggebrak meja dihadapannya dan membuat Jennie lebih terkejut.

Jennie memberanikan diri untuk menjawab.

"Jennie sudah berusaha pa, maafkan Jennie." jawab Jennie dengan masih menundukkan kepalanya belum berani untuk menatap sang ayah.

"Kamu dilahirkan untuk menjadi pintar tetapi mengapa kamu sangat bodoh, Jennie. Mempermalukan papa saja."

Minho menatap Jennie yang masih menunduk dan berakhir dengan ia yang mencengkram kuat rahang kecil Jennie dan mendongakkan kepala sang anak untuk menatapnya.

"Kalau diajak bicara lihat orangnya, dasar tidak sopan." setelah cengkraman kuat tersebut dengan kasarnya Minho menghempaskannya membuat kepala sang anak menoleh kesamping.

"Papa datang ke sekolah kamu berharap mendengar kabar baik tetapi malah dikejutkan karena nilaimu yang turun."

"Dan apa yang kamu lakukan minggu kemarin ? Kamu malah bertengkar tanpa rasa malu. Dimana otakmu hah ? Jangan menjadi bodoh dan membuat saya malu, Jennie." lanjut Minho masih memaki sang anak.

Tidak memikirkan bagaimana perasaan sang anak, Minho menarik tangan Jennie dengan cukup kuat dan menyeret kedalam ruangan yang berada didalam situ.

Ini kebiasaan yang dilakukan Minho ketika mendapati nilai Jennie turun. Mengurung diruangan kecil ini dengan suhu yang sangat dingin dan tanpa alas apapun. Tak jarang ia juga memukul bahkan mencambuk Jennie dengan ikat pingganya. Tak peduli dengan rasa sakit sang anak, ia berkali kali melakukannya.

Seperti saat ini, ia mendorong paksa Jennie untuk masuk kedalam ruangan 3×3 meter tersebut dan mulai melepas ikat pinggang yang melingkarinya. Jennie melihat itu mengeluarkan keringat dingin dan tangannya gemetar.

Sebenarnya berkali-kali sudah Jennie merasakan ini tetapi rasa sakit itu pasti timbul karena tubuhnya akan mendapati luka yang tak biasa. Bukan hanya satu atau dua cambukan yang ia dapatkan, tetapi banyak sampai punggungnya penuh dengan luka dan darah yang mengucur bebas membasahi pakaiannya. Belum lagi harus merasakan dinginnya ruangan ini membuatnya merinding.

Sorry, JennieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang