FIVE

2K 217 30
                                    

Irene mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan menuju kearah kediaman keluarga Lee. Ia akan menjemput Jennie. Setelah mendapat telfon dari Jennie, ia sangat khawatir terhadap Jennie.

Irene tau apa yang telah terjadi kepada sahabatnya itu, tidak jauh-jauh dari masalah papanya.

Mengingat Jennie yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja tadi siang, Irene semakin melajukan mobilnya dan menancap gas supaya cepat sampai di kediaman Lee.

FLASHBACK ON

"Hallo je, udah mendi....."

"Ka reneee..... hiks."

"Je are you okay ? Kenapa nangis, hey."

"Ka, lisa sakit, hikss papa...."

"Tenang ya, bukan salah kamu kok. Kakak jemput ya ? Kamu tunggu aja disitu, ini kakak udah di mobil. Kalau ada apa-apa telfon kakak ya, telfonnya kakak matiin. Bye je."

FLASHBACK END

Jennie terlihat menunggu Irene didekat gerbang masuk mansion. Menggunakan hoodie oversized dan celana pendek bahkan Jennie tidak memakai alas kaki saking terburu-burunya. Ia takut ketahuan pergi oleh papanya.

Sorot lampu mulai mendekat dan berakhir berhenti didepan Jennie. Jennie langsung membuka pintu mobil dan masuk.

Ia langsung memeluk Irene dan menumpahkan tangisnya dipelukan sahabatnya. Irene ikut merasakan apa yang Jennie rasakan selama ini. Irene mendekap Jennie, memberikan kehangatan supaya Jennie bisa tenang.

"Nangis aja terus gapapa je, jangan pernah pendam sendiri. Aku siap jadi tempat keluh kesah kamu." Irene mengusap-usap bahu Jennie dengan kasih sayangnya.

"Aku ini bukan sekedar sahabat buat kamu. Aku bisa jadi mama yang baik, kalau mama suzy belum bisa jadi mama yang baik."

"Aku juga bisa jadi saudara yang baik, kalau saudara kamu gabisa berbuat baik sama kamu."

"Bahkan aku bisa kok jadi papa yang baik buat kamu je. Aku itu bisa jadi semua yang kamu pengen. Kamu lupa kalau aku ini multifungsi?" kekeh Irene diakhir ucaapannya.

Terlihat dari cara bicara dan sorot matanya, Irene begitu menyayangi dan mencintai Jennie dengan tulus. Ia selalu ada untuk Jennie bahkan saat orang lain pun tidak menginginkan kehadiran Jennie.

"Udah ya stop dulu nangisnya, liat deh iler kamu kemana-mana nih." canda Irene berusaha membalikkan mood Jennie.

"Ishhhh." jennie menepuk pelan pundak Irene.

"Kita jalan ya. Kamu boleh sambil cerita. Ceritain semua apa yang kamu rasain, jangan ditahan. Oke?"

"Nanti aja. Aku tidur ya nanti bangunin kalau udah sampai, pusing banget nih." keluh Jennie memijat pelipisnya.

"Yaudah tidur aja, adeknya ka rene gaboleh sakit kaya gini lagi ya." Irene mengusap dahi serta pipi jennie dan mengambilkan selimut untuk Jennie dibagian belakang mobilnya.

Sambil menyetir, sekali-kali Irene melirik ke samping. Memperhatikan wajah Jennie yang begitu menggemaskan saat tertidur. Irene menatap kasihan terhadap sahabatnya tersebut, wajah yang pucat dan pipinya yang semakin hari semakin tirus.

Kenapa orangtuanya begitu jahat padanya, anak semenggemaskan dan sepintar Jennie masih saja disia-siakan. Kenapa harus Jennie yang menanggung ini semua ya Tuhan, pikir Irene.

---

Irene menggendong Jennie kedalam apartemennya, ia tidak pulang kerumah karena orangtuanya pasti bertanya-tanya kenapa Jennie, apa yang terjadi kepada Jennie. Orang tua Irene sudah menganggap Jennie sebagai anaknya sendiri, tetapi untuk masalah ini, Jennie belum mau memberitahukan kepada orang tua Irene karena takut membebaninya.

Sorry, JennieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang