10 : Pain

4.1K 571 213
                                    

•••

"Aku tidak akan pernah ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun."

•••

"Kenapa belum tidur Teressa?"

Suara itu membuat Teressa yang sedang melamun mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Di sana ada Sania yang tengah tersenyum padanya.

Wanita paruh baya itu berjalan menghampiri Teressa yang duduk diam sambil menatap keluar jendela kamarnya.

Daffa sudah pulang. Bara juga sudah.

Setiap kali bertemu dengan Papanya memang selalu begini. Teressa akan berakhir dengan melamun. Bertemu dengan pria paruh baya itu seolah membuka lagi luka Teressa.

"Belum ngantuk Ma." Teressa beralasan. Tidak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya.

Sania duduk di samping anak itu. Dia menatap anak perempuan satu-satunya itu dengan senyuman.

"Tidur, jangan banyak begadang enggak boleh." Kata Sania.

Hanya gumaman pelan yang Teressa berikan.

"Kamu mikirin apa?" Tanya Sania dengan penuh kelembutan.

Teressa menggelengkan kepalanya pelan. Dia menggenggam tangan Sania dengan sayang dan menatap mata Mamanya itu dengan sendu.

"Kenapa Mama enggak mau cerai sama Papa?" Tanya Teressa yang membuat Sania terdiam.

"Sayang"

"Teressa enggak mau melihat Mama seperti ini terus... Berpura-pura menjadi sepasang suami istri yang romantis di hadapan semua orang padahal keluarga kita udah berantakan..."

"Teressa dengerin Mama..."

"Enggak"

Teressa menatap Sania dengan penuh keseriusan.

"Keluarga kita yang seperti ini malah semakin menyakiti Teressa... Teressa enggak bahagia dengan semua kepura-puraan ini Ma." Kata Teressa pelan.

Kali ini Sania yang diam. Matanya menatap Teressa yang sedang menahan air matanya.

"Perempuan itu... Dia juga udah hamil kan? Enggak akan ada kesempatan lagi, jadi cerai saja.."

Nafas Teressa memberat. Dadanya terasa sesak ketika bicara.

"Bebaskan diri Mama dari semua ini... Dari Papa dan Tante Retta.. Aku tau Ma saat anak itu lahir keluarga besar Papa enggak akan lagi mendukung kita.."

Setetes air mata jatuh, tapi Teresa langsung menghapusnya. Membuat Sania tak bisa mengatakan apapun lagi.

"Apalagi kalau anak mereka laki-laki... Kita mungkin enggak akan dianggap lagi Ma." Kata Teressa sambil tersenyum.

Masih tak ada tanggapan yang Sania berikan. Dia seolah kehilangan kata-katanya ketika mendengar itu semua.

Selama ini dia bertahan karena Teressa.

Selagi masih menjadi istri Bara dia masih memiliki kekuatan untuk melindungi Teressa dari Retta dan dari keluarga besar Bara yang mungkin akan menyakiti anak perempuannya.

Tapi, ternyata pilihannya itu menyakiti Teressa.

"Tolong Ma... Akhiri saja semuanya"

Dan Sania tetap tidak bisa mengatakan apapun. Dia hanya diam tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.

Wanita paruh baya itu malah memeluk Teressa dan memejamkan matanya sejenak. Mencari ketenangan di dalam pelukan anaknya.

Dia merasa begitu bersalah pada Teressa karena tidak bisa mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan Bara.

SOULMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang