"Tumben nih bawa bekal, mau jadi ala-ala anak pendiam di kelas yang misterius ya kamu." Tawa Rony ketika melihat Paul mengeluarkan bekal makanannya. Anak-anak yang lain ikut menimpali. Karena memang sangat jarang bahkan tak pernah Paul membawa bekal ke sekolah. Mama Papanya orang yang sibuk, jadi di rumah ia hanya dengan Bibinya saja.
"Gaklah, ini dari Salma." Tanpa sadar ucapan Paul tadi semakin menarik atensi anak-anak di kelasnya.
"Tuhkan bener kata aku, kalau Paul sama tuh anak kelas IPA satu lagi dekat." Seru Azis.
"Katanya dengar-dengar kalian ketua sama wakil ketua di komunitas jurnalistik edisi kali ini ya?" Tanya Daniel pada Paul.
"Jahat kamu Paw, masa gebetan aku kamu embat gitu." Neyl berkata dengan mimik wajah sedih seolah-olah sedang mengusap air mata bayangan.
"Pantesan tadi pagi berangkat bareng, mana pake gandengan tangan segala lagi." Goda Rony ikut mengejek Paul seperti teman-teman yang lainnya. Paul yang mendengar keriuhan semakin menjadi-jadi hanya bisa menghela nafas lelah lalu berdiri dihadapan teman sekelasnya.
"Udah lah guys, kalau kalian mau tuh bilang aja. Gak usah pakai kode-kodean segala. Aku orangnya pekaan kok, tenang aja." Dengan percaya diri Paul mengatakan hal itu lalu nyelonong pergi. Tak lupa bekal yang tadi aku berikan langsung diberikan kepada teman-temannya. Rony yang melihat hal itu langsung terdiam dan mengikuti Paul pergi, tapi berbeda arah.
ೋೋ
"Yah .. kamu kok bawa bekal gak bilang-bilang sih Sal. Tau gitu aku bawa juga." Kesal Nabila yang melihatku mengeluarkan bekal dari dalam tas."Tadi tuh buru-buru ya, udah telat makanya bawa bekal." Ucapku membela diri. Tanganku bergerak mengikat rambutku sendiri. Rambutku lumayan panjang, jadi butuh waktu hingga jam istirahat untuk mengeringkannya.
"Ko diikat sih, bagus kalau digerai tau gak." Tangan Nabila mencoba melepas ikatan rambutku. Tapi segera ku tepis tangannya.
"Ah resek kamumah, dahlah mau makan di luar aja aku." Kesalku dan berjalan keluar kelas.
"Ngeselin, yaudah aku jajan sama Anggis aja kali ya." Monolog Nabila sasaat setelah ku tinggal pergi.
Hahh .. udara di atap sekolah benar-benar menenangkan. Selama aku hampir dua tahun sekolah di sini aku hanya mendengar cerita-cerita tentang atap sekolah ini. Mereka bilang jika kamu merasakan penatnya belajar, maka cobalah menenangkan diri disini. Hirup udara banyak-banyak dan pejamkan matamu. Dijamin rasa lelahmu hilang dan berganti dengan kelegaan. Aku tidak tahu jika ternyata sugesti itu benar adanya. Aku merasa tenang berada disini. Segera ku cari kursi atau apapun untuk aku bisa duduk. Sofa? Bagaimana mungkin disini ada sofa untuk duduk. Tapi tak apalah, toh malah lebih nyaman makan sambil duduk di sofa empuk.
Akhirnya aku bisa melepas masker yang dari tadi aku kenakan. Rasanya seperti terbebas dari engapnya hirup pikuk dunia. Seperti tadi saat aku sampai di kelas, Nabila terus-terusan menanyakan kenapa aku memakai masker. Menambah engap permukaan udara saja. Saat sedang asik-asik makan tiba-tiba ada suara langkah kaki di belakangku. Aku terkejut melihat Rony disana. Begitupun Rony, dia juga terlihat terkejut saat menatapku duduk di sini. Segera ku pakai maskerku untuk menutupi jerawat di pipi.
"Aku yang bawa sofa ke atap ini ya. Jadi jangan bilang aku ngikutin kamu pergi ke sini." Rony langsung duduk di sebelahku sambil membawa keripik kentang dan kopi. Sepertinya dia membelinya di kantin sekolah.
Duh .. aku lapar banget belum sarapan tadi tuh. Mana makannya baru seperempat doank ini. Tapi masa iya buka masker di depan Rony. Apa gak di ledekin abis-abisan nanti sama dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Energi Alam ✅
Teen Fiction‼️Just AU‼️ "Bentar bentar bentar, ini maksudnya apa nih. Kok otak kecil dan otak-otak saya tidak mampu mencerna ya." "Otak besar ege, bukan otak-otak." "Ya bener lah otak-otak, kan dikuadratkan." "Lha iya bener juga ya." "M...