"Kalian tadi kenapa sih? Kok sampai Bu Marim turun tangan gitu loh." Saat perjalanan pulang Novia bertanya kepadaku.
"Gak tahu, tanya aja sana sama Paul sendiri. Kan dari tadi dia yang ngedebat aku terus." Jawabku yang malas membahas lagi obrolan ini sebenarnya.
"Gak biasanya loh kalian kayak gini, aku gak bermaksud ikut campur masalah kalian. Tapi disini kamu sama dia itu partner kerja. Belajar profesional ya, aku gak mau gara-gara masalah kalian kinerjanya jadi berantakan. Apa lagi sampai gagal." Aku hanya mendengarkan apa yang Novia katakan. Tak berniat membantah apa lagi hanya sekedar menanggapi.
"Iya, kamu tenang aja." Senyumku mencoba menenangkan Novia.
"Ganbatte Salma!" Aku langsung tertawa mendengar kalimat Novia barusan. Karena kalimat itu sering aku ucapkan ketika rapat berakhir untuk menyemangati teman-teman. Tapi karena masalah tadi jadi kelupaan aku mengatakannya. "Nah gitu dong ketawa, kan jadi enak lihatnya." Lanjut Novia.
"Eh stop.. stop.. sampai sini aja nganternya." Tanganku menepuk pundak Novia dan karena Novia terkejut lalu mengerem mendadak aku jadi menabrak pundaknya.
"Kenapa sih Sal kok mendadak gini, biasanyakan aku anterin sampai depan gerbang. Ini kan baru sampai gang. Berasa cowok-cowok gak bertanggungjawab aku." Kesal Novia.
"Ya maaf Nov, aku mau mampir ke toko itu soalnya. Baru ingat mau beli sesuatu." Badanku langsung turun dari motornya dan melepas helm.
"Yasudah kalau gitu, aku duluan ya. Segera obrolin masalah kalian baik-baik." Aku hanya mengangguk padanya lalu menunggu ia menghilang berbelok di tikungan jalan.
Sekarang aku malah bingung. Karena sebenarnya aku tidak ingin pergi ke toko manapun. Apalagi hendak membeli sesuatu. Tapi dari pada jadi pembohong aku memutuskan untuk masuk saja ke toko tersebut. Konyol juga sebenarnya kalau dipikir-pikir tuh. Sepanjang masuk ke toko aku hanya menahan tawa dengan ke konyolan ini.
"Sakit bun? Ketawa mah ketawa aja. Kek orang sawan mukamu kayak gitu." Terkejut aku mendengar suara yang akhir-akhir ini tak asing bagiku.
"Astaga kau ngapain disini sih. Perasaan dimana-mana ketemunya kamu terus. Kamu terus, sampai bosan aku liatnya." Jengahku sambil berjalan ke tempat duduk yang disediakan disini.
"Nyari apaan?" Tanyanya kepadaku.
"Gak nyari apa-apa sih. Pingin aja lihat-lihat. Harusnya aku yang nanya sama kamu, ngapain kamu disini? Rumahmu dekat sini emangnya?" Heranku padanya. Aku tinggal disekitar sini tapi tak pernah melihat dia berkeliaran ataupun melihatnya sekalipun.
"Nyari gantungan kunci aja sih, kemaren pas nganterin kamu ilang soalnya. Bukan orang sini juga aku. Tapi tadi pakai google maps buat nyari toko." Terangnya.
"Oalah, kirain orang sini. Pantesan gak pernah lihat soalnya." Tanganku langsung melihat hape yang dari tadi aku kantongi.
"Baru sadar kalau kamu masih make seragam. Udah jam segini kamu baru pulang? Abis ngedate sama pacarnya pasti." Sok tahu banget tuh orang, bikin kesal aja.
"Mana ada aku abis ngedate, aku loh baru pulang kegiatan jurnalistik. Lagian gak ada pacar juga aku." Kepalaku geleng-geleng heran akan ke sok tahuannya itu.
"Sok-sokan gak mau ngaku, padahal juga tadi baru jadiankan?" Kekehnya seolah meremehkanku.
"Enggak astaga, kagak ada cowok aku tuh. Ngeyel amat sih jadi orang." Gak habis pikir aku sama dia tuh.
"Gak usah bohong ya, kalau bohong besok pagi alisnya ilang loh. Orang tadi aja aku lihat kamu pelukan sama cowok. Mana di kelas lagi pelukannya. Kayak gak ada tempat yang lain aja elah." Mataku membola mendengar kalimat dia barusan. Bagaimana dia bisa tahu. Astaga ini sangat memalukan. Huaa.. Mama mau pulang. Eh kok Mama sih, Bunda maksudnya. "Ye malah bengong, aku benarkan?" Alis tebalnya naik turun dengan bangganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Energi Alam ✅
Teen Fiction‼️Just AU‼️ "Bentar bentar bentar, ini maksudnya apa nih. Kok otak kecil dan otak-otak saya tidak mampu mencerna ya." "Otak besar ege, bukan otak-otak." "Ya bener lah otak-otak, kan dikuadratkan." "Lha iya bener juga ya." "M...