Aku ragu-ragu antara hendak membuka pintu kamarku atau enggak. Aku tidak siapa membicarakan apapun dengan Mama. Tidak akan pernah siap. Karena yang aku tahu semenjak Ayah dan Bunda berpisah itu karena kehadirannya. Bahkan setelah kehadirannya kedua orang tuaku pergi untuk selama-lamanya.
"Nak ini makanannya, keburu dingin loh." Ketukan kembali terdengar di belakang pintu tersebut. Aku disini semakin bimbang harus berbuat apa. "Nak, Mama buka sendiri ya pintunya?" Belum sempat aku melarang Mama sudah membukanya terlebih dahulu. Aku hanya melihatnya dengan tatapan datar menahan amarah.
"Kamarmu tidak berubah ya, masih sama seperti saat Mama berkunjung dulu." Aku enggan menanggapi ucapannya. Sedang dia yang telah menaruh nampan di meja belajarku bukannya segera pergi malah duduk di sofa kamar depan televisi. "Sini duduk sebelah Mama." Ucapnya sambil menepuk-nepuk kursi disebelahnya.
"Kalau gak ada keperluan lain silahkan keluar." Ucapku penuh penekanan. Mama sedikit terkejut dengan kalimatku barusan tapi segera menetralkan lagi wajahnya dan tersenyum.
"Mama hanya sedikit merindukan anak Mama. Sini bicara sebentar." Tawarnya yang lagi-lagi memintaku untuk duduk di sebelahnya.
"Aku bukan anak Mama dan tolong segera pergi dari kamarku." Mataku memicing tajam menahan amarah kepadanya. Jika dulu Ayah tidak meminta padaku dengan baik-baik agar selalu sopa kepada Mama. Sudah ku pastikan akan ku seret dia dari kamarku ini.
"Nak, mari kita memulai hari baru dan menjadi sosok yang baru. Apa kamu tidak lelah bersikap dingin dan tidak pernah menganggap Mama ada? Bertahun-tahun telah berlalu dari kejadian itu. Apa kamu masih tidak ingin memaafkan Mama?" Kembali ku lihat mata itu berkaca-kaca. Sungguh aku sudah muak dengan drama yang selalu dia mainkan kepadaku ini. Smirk ku tunjukkan setelah ia selesai mengatakan hal tersebut.
"Mama bilang maaf? Setelah Mama memaksa Ayah untuk mengajari Mama naik mobil lalu menabrakkannya? Wow.. sepertinya hati Mama sudah benar-benar membatu." Aku bertepuk tangan pelan sambil tersenyum mengatakannya. Aku benar-benar tak habis pikir dengan pola pikirnya tersebut. "Jadi sekarang Mama atau aku yang keluar dari kamar ini." Pintaku dengan suara tegas dan sorot mata memicing marah.
"Nak, Mama benar-benar minta maaf. Mama akan ..." Belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya.
"KELUAR! Selagi aku memintanya dengan baik-baik." Kesabaranku sudah berada diujungnya.
"Nak, Mama ..."
"KE .. LU .. AR ..."
Aku melihat air mata kian deras turun di pipi Mama. Aku segera memalingkan wajahku karena merasa tak kuat untuk melihatnya. Tak biasanya aku luluh dengan drama yang Mama mainkan ini. Karena biasanya Mama tak sampai menangis, hanya air mata di pelupuk saja. Tapi kali ini dia menangis. Ya menangis! Dan aku? Ah apa ini? Kenapa pipiku juga basah. Sial sial sial aku tidak boleh lemah. Segera ku hapus air yang entah darimana asalnya ini turun dan segera mandi untuk menenangkan diriku sendiri agar besok pagi lebih tenang.
ೋೋ
"Pagi-pagi dah kucel amat sih, ada apa?" Tanya Nabila yang melihatku melempar tas dan menaruh kepalaku diatasnya.
"Gak ada apa-apa. Belum sarapan aja ini. Jadi lemes banget." Jawabku asal-asalan dan segera menutup mataku. Semalam aku tak tidur sama sekali karena masih merasa tak enak dengan Mama. Bagaimanapun seumur-umur aku tak pernah membuat orang lain menangis. Jadi aku akan merasa bersalah jika akhirnya aku melakukannya. Apalagi orang tersebut adalah orang yang aku panggil Mama. Bahkan pagi tadi tak ku jumpai dia dimanapun.
"Yaudah ayo aku antar ke kantin, masih lama juga ini masuknya." Tanganku ditarik paksa oleh Nabila.
"Gak usah Nab, nanti siang aja. Ngantuk banget aku tuh." Badanku masih enggan berdiri untuk menerima ajakan Nabila.
"Udah ikut aja, daripada nanti pingsan pas pelajaran kan repot akunya nanti. Mana matematika lagi jam pertama. Udah ayo buruan Salmaaaa .." Akhirnya Nabila berhasil membujukku untuk pergi ke kantin. Padahal aku sebenernya sangat malas untuk makan. Tapi benar apa yang dikatakan Nabila tadi, jam pertama adalah matematika dan aku tak ingin pingsan gara-gara mikir keras dengan perut kosong.
Sesampainya di kantin Nabila membawaku ke tempat jualan bubur ayam. Dia bilang bubur baik untuk sarapan dan lebih cepat untuk di telan. Aku hanya iya-iya aja dengan apa yang ia pilihkan. Yang penting aku segera makan dan pergi dari kantin ini. Sambil menunggu buburku jadi aku mengedarkan pandanganku di sekitar kantin yang pagi-pagi tapi sudah ramai sekali. Lalu pandanganku terkunci oleh sosok yang ingin ku temui dan ajak bicara dari kemarin. Aku ingin menemuinya tapi dia sedang bersama anak-anak Komunitas Media Siswa (KOMUMIS). Yang dimana komunitas itu terkenal dengan ke kepoannya lalu mengunggahnya di media sosial untuk menjadi berita hangat yang semakin membuat popular komunitas tersebut. Tapi aku tak ada pilihan lain, aku harus segera berbicara dengan dia. Tanpa memperdulikan bubur yang belum datang, aku mendatangi dan menarik orang itu.
"Aku mau ngomong, ikut aku." Tanpa basa basi ku tarik tangan Paul menjauhi kerumunan.
"Apaan sih Sal, udah mau masuk ini." Paul berhenti berjalan. Karena tenagaku tak sebesar tenaganya maka aku juga terpaksa berhenti juga.
"Yaudah disini aja kalau gitu. Kamu ada masalah apa sama aku? Kalo ada sesuatu tuh ngomong. Jan malah kek gini. Kalau bukan karena komunitas aku gak akan peduli mau kamu jungkir balik sekalipun." Ucapku panjang lebar. Aku tuh capek kayak gini. Ku tunggu sampai Paul menjawab semua pertanyaanku. Tapi sampai bel berbunyi ia tak menjawabnya sama sekali.
"Temui aku di gerbang sepulang sekolah." Tanpa menunggu persetujuanku Paul langsung pergi ke kelasnya.
Sepeninggal Paul aku tak langsung masuk ke dalam kelas. Aku memilih menenangkan diriku di dalam kamar mandi. Karena dengan tidak sopannya air mataku terus mengalir tanpa bisa ku hentikan. Aku menangis sepuas-puasnya tanpa harus takut ada yang melihat. Setelah aku puas segera kubasuh muka dan masuk ke dalam kelas dengan perasaan lebih tenang.
"Maaf Pak saya terlambat. Tapi tas saya sudah ada di dalam kok." Ucapku ketika sudah ku jumpai guru mengajar di kelas.
"Iya gak apa-apa, langsung masuk dan mengikuti pelajaran ya." Aku mengangguk dan segera duduk di sebelah Nabila.
"Kamu kenapa? Mata kamu bengkak gitu. Kamu abis nangis? Siapa yang jahatin kamu?" Belum sempat aku menjawab semua pertanyaan Nabila bapak guru berdehem mengingatkan agar kita tidak berisik.
"Kalau masih mau ngobrol keluar aja Nab." Ucap Pak guru tegas.
"Maaf Pak." Nabila menunduk malu saat mengatakannya. Jika kondisiku sedang lebih baik tentu saja aku akan mengejeknya. Karena biasanya sang juara kelas ini mendapat pujian dari guru. Tapi sekarang malah dapat teguran. Mana ngomongnya di depan kelas plus disebutin lagi namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Energi Alam ✅
Teen Fiction‼️Just AU‼️ "Bentar bentar bentar, ini maksudnya apa nih. Kok otak kecil dan otak-otak saya tidak mampu mencerna ya." "Otak besar ege, bukan otak-otak." "Ya bener lah otak-otak, kan dikuadratkan." "Lha iya bener juga ya." "M...