4.

1.7K 182 4
                                    

Suara peluit terdengar nyaring menandakan permainan sepak bola telah berakhir. Pak Kim selaku wasit langsung menyuruh kami berkumpul di tengah lapangan. Aku dan teamku berbaris di sebelah kanan sedangkan Hara dan teamnya berbaris di sebelah kiri. Kami saling berjabat tangan dan meminta maaf apabila kami melakukan tindakan yang kurang menyenangkan selama permainan tadi.

"Jalea, maaf ya tadi aku bener-bener nggak sengaja nginjak kaki kamu. Pasti sakit, ya? Aku bener-bener minta maaf," ujar Saeyoung ketika kami berpapasan.

Ketika berebut bola tadi Saeyoung tidak sengaja menginjak kaki kananku. Terasa sakit tapi aku bisa menahannya sampai permainan usai yang membawa teamku ke gerbang kemenangan. Asal kalian tahu saja aku suka bermain sepak bola meskipun aku perempuan. Ketika masih di Ulsan aku dan teman-temanku suka bermain sepak bola di sawah ayahku ketika sudah memasuki musim panen.

Aku menggelengkan kepala, "Nggak papa, Sae. Besok juga sembuh. Jangan dipikirin."

"Sekali lagi maaf ya, Jalea." Saeyoung menundukan badannya tapi aku langsung menahannya karna merasa tidak enak hati.

Aku tersenyum lebar, "Iya, Sae. Gak papa kok, asli." Kami berpelukan lalu di sebelah Saeyoung ada Hara. Gadis itu berkacak pinggang dan menatapku sok tajam.

"Kenapa menatapku seperti itu? Pasti cemburu ya teamku menang?" tanyaku dengan wajah dibuat tengil.

"Cih, teamku bukan kalah tapi kami mengalah," belanya.

"Aigoo, kau pandai sekali bersandiwara. Pantas saja hubunganmu dengan Shimje berjalan mulus." Aku geleng-geleng kepala, Hara cemberut kemudian menabok pelan tanganku.

"Enak saja! Mana mungkin si tutup panci itu menjadi pacarku! Lebih baik aku menjadi jomblo kurang belaian daripada berkencan dengan bocah prik seperti dia," gerutunya.

"Itulah yang kurasakan ketika kau meledekku dengan Hajun!" sewotku.

Hara mengerucutkan bibirnya lalu menggandeng tanganku mendekati pak Kim.

"Jam olahraga kali ini telah usai. Semuanya bisa kembali ke kelas. Sampai berjumpa minggu depan anak-anak," ujar pak Kim diakhiri senyuman tipis. Guru olahragaku yang satu ini masih muda, manis pula sehingga banyak diincar murid-murid perempuan.

"Baik, pak!" balas kami serempak.

Kami menundukan badan begitupun dengan pak Kim lalu berhamburan keluar dari lapangan outdoor yang terasa panas ini. Aku dan Hara berjalan ke pinggir lapangan dengan bermandikan keringat. Rambut kami lepek bukan main, Hara sampai jijik dengan rambutnya sendiri.

"Ke kantin yuk? Aku haus banget kayaknya hibernasi," ajak Hara seraya mengelus tenggorokannya.

Aku menatapnya lelah, "Dehidrasi, sialan. Jangan memancing amarahku, aku sedang lelah. Tenagaku tidak cukup untuk dipakai baku hantam."

Hara nyengir kuda, "Udah ganti, ya? Siapa yang menggantinya kok aku gak tau?"

"Hara, stop mengumbar kebodohanmu," leraiku seraya menatapnya letih.

Hara kembali nyengir, "Yaudah ayo ke kantin." Hara menarik lenganku lalu dengan malas aku mengikutinya.

Aku meringis melihat kantin begitu ramai, terlebih stan minuman dingin. Astaga sudah seperti pembagian bantuan dari pemerintah saja harus mengantre.

"Aku males mengantre," keluhku.

"Aku tau, bodoh. Kamu pasti mau nitip, ya?" tebak Hara. Aku langsung tersenyum lebar.

"Nitip, ya. Es jeruk peras satu." Aku menyerahkan selembar uang dengan cengiran lebar.

"Mati saja kau!" Hara mengambil uangku lalu dia mendekati antrean.

Jung JaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang