24.

608 90 6
                                    

Aku gak tau udah berapa lama aku tidur, yang jelas sekarang kepalaku pusing banget ya Tuhan kaya habis ditimpuk batu. Takut banget tiba-tiba kepalaku copot saking pusingnya. Hidungku juga rasanya perih, sedikit bikin dadaku sesek karna nafasku tidak beraturan.

Padahal dari tadi aku cuma tidur kok rasanya cape banget kaya orang habis kerja lembur bagai kuda, bodo ah gak mau mikirin takut kepalaku beneran copot.

Udah hampir lima menit aku bengong ngeliatin langit-langit kamar rumah sakit yang lampunya buset terang bener mataku sampai xilau men. Sebelumnya sorry, gak pake drama nanya aku di mana dan sebagainya aku udah tau kalau aku ada di rumah sakit soalnya bau ruangannya khas banget.

Aku inget kejadian terakhir kali sebelum aku hilang kesadaran waktu aku main sama nenek tapi sekarang nenek kok gak ada ya? Kemanakah perginya wanita nyentrik nan bawel itu? Lama-lama sendirian di sini membuatku sedikit merinding. Pikiranku tiba-tiba mengarah ke hal-hal mistis. Takut banget ada suster ngesot keluar dari kolong kasur atau tiba-tiba ada mayat random yang masuk kamar :(

Klek!

Aku langsung noleh ke arah pintu dengan was-was takut yang dateng itu mayat random tapi ternyata itu nenek dan di belakangnya ada ayah. Aku menghela nafas lega dan berusaha menetralkan nafasku. Kulihat keduanya tampak terkejut melihatku sudah sadarkan diri. Ayah langsung menghampiriku dengan wajah penuh kecemasan.

"Astaga, Jalea! Apa ada yang sakit?" tanya ayah sembari mengelus kepalaku.

"Tid______"

"Minggir miskin!" sela nenek sembari menarik baju ayah dengan dua jari saja, gesturnya menunjukan jika dia jijik.

Ayah hanya bisa pasrah ketika nenek menariknya jauh dariku, aku yang melihat itu tentu terkejut dan tidak terima.

"Aku gak suka ya nenek kaya gitu ke ayah!" protesku dengan wajah cemberut.

"Ais," cicit nenek dengan wajah kesal. Wanita paruh baya itu lantas melirik ayah dengan angkuh.

"Sorry," ujarnya dengan wajah terpaksa lalu tersenyum kepadaku.

"Aigoo, Jungjaku sakit. Apa sekarang sudah membaik?" tanyanya dengan wajah sedih sembari mengelus-elus kepalaku.

Aku hanya bisa mengangguk sebagai respon karna tidak mood untuk menjawab. Nenek melirik ayah lagi dengan sinis.

"Ini semua salah kau, Jaeyoung! Menyebalkan, tak akan kumaafkan jika Jungjaku dalam masalah!" gertaknya.

"Saya yang salah? Bukankah anda yang harusnya bertanggung jawab? Dari awal sudah kubilang Jalea sedang sakit tapi anda ngotot membawanya pergi. Lihat? Apa yang terjadi sekarang?" balas ayah membuat nenek tampak semakin kesal.

"Berani sekali kau menyalahkanku?!" bengis nenek.

"Ini memang salah anda, nyonya Choi. Harusnya ada intropeksi diri bukan menyalahkan orang lain," balas ayah dengan tegas.

Nenek berdecih kemudian mendekati ayah. Mereka saling melemparkan tatapan penuh kebencian. Aku hanya bisa menghela nafas di tempat dengan perasaan kesal. Kenapa di saat seperti ini pun mereka tidak bisa menahan ego?

"Kau yang salah, brengsek! Kenapa kau membiarkan dia bergabung dengan perusahaan si kacamata capung itu? Biarkan saja dia fokus sekolah!" murka nenek membuat ayah seketika membatu.

"Aniyo! Aku yang mau sendiri, nek. Ayah tidak memaksaku," belaku membuat ayah langsung melirikku dengan tatapan bersalah.

"Jika Kayoung ada di sini aku yakin dia pasti benci padamu. Ck, aku tidak habis fikir mengapa dulu dia jatuh cinta padamu di saat Hyuntak mati-matian mengejarnya," racau nenek sembari memegang kepalanya.

Jung JaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang