6.

1.4K 190 7
                                    

Aku menatap lamat-lamat apartemen yang telah kutempati kurang lebih dua bulan bersama ayah. Tanganku aktif mengelus Duyi---- kucing Himalaya milikku yang sedang hamil besar. Entah kapan akan melahirkan yang jelas aku sedih karna gak bisa liat anak-anaknya ketika masih unyu-unyu nanti.

"Ayah, apakah ini mimpi?" tanyaku dengan tatapan tak lepas dari pintu apartemen yang tertutup rapat. Tak pernah terbesit sedikitpun di benakku jika aku akan hidup jauh dari ayah apalagi menjadi seorang idol. Benar-benar seperti mimpi.

Ayah menghela nafasnya kemudian berdiri di sebelahku, beliau merangkulku membuatku langsung menoleh.

"Ayah, tolong jagain Duyi, ya? Awas aja kalau ayah nelantarin dia sama anak-anaknya kelak. Pokoknya ayah anggap aja Duyi itu aku. Janji, ya?" tanyaku seraya memamerkan jari kelingking.

"Iya. Ayah pasti jagain Duyi," balas ayah seraya menautkan jari kelingkingnya.

Aku menatap wajah Duyi, "Duyi, kalau ayah jahatin kamu, kamu kabur aja ke gedung Sm Entertainment. Bilang ke paman security kalau kamu mau ketemu aku nanti aku bakal nemuin kamu." Mataku tiba-tiba terasa panas. Sedih sekali rasanya harus berpisah dengan Duyi.

Duyi bersamaku sejak dia masih bayi, dia sudah seperti anakku sendiri. Dia yang menemaniku kala ayah sibuk bekerja dan ketika aku bersedih dia selalu menghiburku dengan tingkah lucunya. Aku mendekap tubuhnya yang ditumbuhi bulu yang lebat dan sangat lembut.

"Jaga kandunganmu juga, ya? Jangan banyak tingkah dulu. Kamu itu ibu hamil," omelku mengingat Doyi hobbynya loncat-loncat seperti kodok.

Seakan mengerti Doyi langsung mengeong membuatku tersenyum haru dan refleks menciumnya. Suara deru mobil terdengar mendekat membuatku buru-buru menyeka air mata. Itu pasti paman Munshik.

Ternyata benar, tak lama mobil paman Munshik berhenti di depanku. Beliau membawa seorang supir yang langsung mengangkut koperku ke dalam bagasi. Paman Munshik bercengkrama dengan ayah sedangkan aku setia menutup mulut seraya terus mengelus Duyi. Air mataku terus mendesak keluar tapi sekuat tenaga aku menahannya.

"Bagaimana, Jalea? Kau sudah siap?" tanya paman Munshik dengan raut bahagia.

"Paman, bisa tolong pegang Duyi sebentar?" titahku sesopan mungkin.

Paman Munshik langsung menggendong Duyi, "Astaga, kucing apa ini? Besar sekali. Ini kucing atau babon?"

"Dia sedang hamil," balasku dan paman Munshik hanya manggut-manggut seraya menatap Duyi dengan tatapan aneh.

Aku menghampiri ayah lalu memeluknya erat, "Ayah jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Ayah harus bahagia terus. Sering-sering jengukin aku, ya?"

"Pasti. Ayah pasti sering jenguk kamu," balas ayah seraya mengelus punggungku.

"Jalea, jaga dirimu baik-baik. Jangan kecewakan apa yang telah ayah putuskan. Ayah menyayangimu lebih dari apapun. Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini dibanding dirimu." Ayah mengecup keningku cukup lama menciptakan desiran hangat di hatiku.

Setelah itu ayah beralih pada paman Munshik yang sejak tadi menyimak sembari menggendong Duyi.

"Tuan, saya titip Jalea padamu. Tolong jaga dia. Atas nama pribadi saya benar-benar memohon agar anda menjaga Jalea. Dia adalah nyawaku." Ayah membungkukkan badannya, suaranya terdengar begitu tulus. Sesayang itu ayah padaku.

Paman Munshik langsung menyuruh ayah berdiri, "Ais, jangan seperti ini. Aku akan menjaga Jalea. Tenang saja."

"Terimakasih, tuan."

Paman Munshik tersenyum tipis sembari menyerahkan Duyi kepada ayah. Merasa sudah siap paman Munshik menyuruhku masuk ke dalam mobil. Ayah tersenyum tipis melepas kepergianku, kami saling melambaikan tangan sampai akhirnya pintu mobil tertutup rapat.

Jung JaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang