22.

853 113 7
                                    

"Aku mencintaimu, Jaeyoung. Tolong besarkan dia dengan penuh kasih sayang."

"Kayoung-ah, jangan seperti ini. Kita pasti bisa merawat Jalea bersama-sama. Bertahanlah, tolong... Tolong jangan meninggalkan kami."

"Jalea..."

Mataku perlahan terbuka dengan kepala yang terasa pusing luar biasa. Hanya cahaya putih yang dapat kulihat namun aku mendengar ada orang yang memanggil namaku dengan lembut.

Suara itu, aku mengenalinya.

"Eomma," panggilku dengan lirih dan tidak percaya melihat sosok wanita yang sedang mengelus lembut puncak kepalaku sekarang.

"Eomma kemana saja? Kenapa lama sekali perginya?" tanyaku dengan nafas tersegal-segal karna dadaku terasa begitu sesak seakan oksigen semakin menepis.

"Aniyo, eomma tidak pernah pergi kemana-mana. Eomma selalu ada bersamamu," balas eomma dengan senyuman teduhnya.

"Kemana ayah?" tanyaku lagi.

Eomma hanya tersenyum tipis lalu beliau perlahan memeluk tubuhku dengan erat. Rasa hangat berselimut ketenangan langsung kurasakan. Aku hanya diam membisu membiarkan eomma memelukku. Perlahan kudengar beliau mulai terisak. Aku panik ingin menenangkannya tapi anehnya tubuhku benar-benar tidak dapat digerakan.

"Jalea.... Maaf.."

"Eomma benar-benar minta maaf."

"E-eomma... Masih ingin bersamamu. Bersama ayahmu."

"Apa yang harus eomma lakukan sekarang untukmu?"

Air mataku merembes keluar dengan sendirinya, setiap kata yang keluar dari mulut eomma menyayat hatiku. Sakit, sakit sekali aku mendengarnya. Mulutku tidak bisa digerakan sampai akhirnya aku hanya bisa menangis tersedu-sedu seperti mayat hidup.

Mataku mulai terpejam dengan sendirinya, tubuhku masih didekap hangat oleh eomma. Telingaku masih setia mendengar setiap perkataan eomma yang seperti belati tajam yang menusuk-nusuk hatiku.

"Jalea.. Sadarlah. Ya Tuhan.."

Tubuhku tiba-tiba terasa ringan, rasa sesak dan sakit itu semuanya sirna bersamaan dengan suara ayah yang tertangkap telingaku. Aku berusaha membuka mataku yang terasa begitu berat. Hal pertama yang kulihat adalah ayah yang sedang menangis menundukkan kepalanya sembari memegang erat tanganku.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi tapi untuk pertama kalinya aku melihat ayah menangis seperti ini. Selama ini beliau selalu menunjukkan sisi kuatnya saja.

"Ayah?" panggilku.

Secepat kilat ayah mendongak, matanya yang berlinang air mata menatap dalam mataku. Ayah terdiam sesaat kemudian memeluk tubuhku dengan erat, sangat erat. Rasanya seperti pelukan eomma tadi.

"Kenapa ayah menangis?" tanyaku.

Ayah tidak menjawab membuatku semakin bingung. Apa yang terjadi? Seingatku tadi aku mengintip orang-orang yang berdemo di depan gedung, kenapa aku bisa ada di ruangan yang bau obat-obatan ini?

Setelah beberapa menit ayah melepaskan pelukannya, beliau berusaha menyeka bulir-bulir air mata yang masih menumpuk di pelupuk matanya.

"Ada yang sakit?" tanyanya.

"Kepalaku terasa pusing, ayah," balasku dengan lesu.

"Tidak apa nanti juga sembuh sekarang jangan memikirkan apapun. Percaya sama ayah semuanya akan baik-baik saja," balas ayah sembari mengelus kepalaku.

Aku hanya mengangguk kecil. Banyak yang masih ingin aku tanyakan tapi aku takut ayah marah karna aku banyak tanya. Aku menghela nafas berat kemudian berniat kembali memejamkan mata karna kepalaku masih terasa pusing.

Jung JaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang