"Pastikan kamu selalu memakai syal dan mantel. Siang nanti temperaturnya meninggi. Jangan pernah melepaskan jaket, nanti kamu masuk angin. Paham?"
Watson mengangguk-angguk supaya Tantenya itu segera pergi. Aduh, kalau kepergok dianterin modelan rich auntie, bisa-bisa Watson kalut dikerumuni demi meminta nomor beliau. Kenapa pula beliau pakai mobil merah mencolok. Aish, cowok itu tak henti-hentinya mengeluh.
"Kalau begitu Tante pergi."
Watson mengangguk-angguk lagi, melambaikan tangan. Mobil merah melesat ke jalan raya. Hujan salju membuat murid-murid tak leluasa berjalan bebas di atas tumpukannya.
Berbalik hendak masuk ke gedung sekolah, Watson menoleh ke samping. Terdapat jejak tipis panjang berwarna merah yang disamarkan oleh salju. Runut itu memanjang seolah memaksa menyeret kaki. Kalau bukan Watson, takkan ada yang menyadari bercak merah tersebut karena persis ditutup salju putih. Pagi-pagi disambut hal beginian.
Mengikuti arahnya, Watson terdiam melihat seorang gadis remaja berdiri kelesah di depan klub detektif. Apa dia pendaftar lagi? Sebenarnya ada apa sih ini. Padahal mereka tidak membuka penerimaan anggota baru.
Tetapi tunggu deh, pakaiannya ganjil. Jauh dari definisi 'Gaya Amerika'. Sebaliknya, terlihat sopan. Rok lipit sekaki, rambut kepang, kacamata, dan kardigan kuning gading. Apa dia dari desa? Mencurigakan.
Begitu dia mau memutar gerendel pintu, sherlock pemurung itu mencegat gerakannya.
"Watson Dan?"
Membuka mulut, Watson meringis sesudahnya. Dia sejenak lupa bahwa sekarang dia tak dapat berbicara. Terpaksa memakai bahasa tubuh. 'Kamu siapa?' Watson mendesah melihat gadis itu kebingungan. Mungkin dia tak mengerti bahasa isyarat. Terpaksa (lagi) Watson membuka buku ajaib—ah, buku komunikasi maksudnya.
"A-aku ingin bertemu teman lama." Dia tergagap membalas, menggerak-gerakkan tangan. "Kami berjanji akan bertemu musim dingin tahun ini."
Watson mengerjap. 'Kamu mengerti isyarat?'
"I-iya. Aku mempelajarinya."
'Apa kamu dari luar negara? Aksenmu tidak fasih. Idiommu berantakan.' Tatapan menyelidik tak Watson hentikan barang sedetik.
Dia mengangguk. "Aku dari—"
Howek! Howek! Suara muntah seseorang menginterupsi "percakapan" mereka berdua. Didengar dari intonasinya, itu suara King. Masih pagi firasat Watson tak enak. Dia membuka pintu, cengo melihat Aiden memeluk Jeremy sambil menunjuk-nunjuk belakang sofa, mundur lima langkah.
"Kamu berat, Aiden! Enyah dariku, Tuan Putri Gemuk!" Kesampingkan soal bau, tangan Jeremy rasanya mau patah demi menggendong Aiden yang tiba-tiba melompat ke arahnya.
Plak! Aiden menampar tepat mengenai wajah Jeremy. "Berani sekali kamu mengatakanku gemuk! Setelah ini kamu habis denganku!"
Pemandangan macam apa ini? Mereka bertiga kerasukan apa? Watson mengusap wajah, meminta pertolongan gadis di sebelahnya.
"Jangan ada yang berteriak!"
Aiden dan Jeremy menoleh. King keluar dari toilet, tampak lemas. Rentetan pertanyaan segera mengisi kepala. Siapa gadis ini? Apa yang dia lakukan di klub detektif? Kenapa Watson berdiri di belakangnya? Kenapa dia menyuruh mereka tak berteriak? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Setelah menurunkan Aiden, Jeremy memperhatikan wajah gadis itu baik-baik, spontan tersenyum. "Dinda?"
Dia balas tersenyum. "Jeri!"
"Astaga, lama tak berjumpa." Jeremy langsung memeluk gadis yang dipanggilnya Dinda. "Kenapa tidak bilang kamu akan ke Moufrobi?"
"Kamu lupa kita sudah janji ketemuan di bulan desember? Dasar pikun."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Jeremy Bari - Fail Snowdown
Mystery / ThrillerJerena Bari, itulah nama kakak Jeremy. Seorang wanita tunagrahita yang menghilang selama setahun. Walau sudah meminta bantuan polisi dan divisi pencari orang hilang, Jerena tak kunjung ditemukan. Tampaknya dia tersesat jauh. Di balik keceriaannya...