13

469 184 63
                                    

Selamat datang di Negara Ginseng! Korea!

Mereka tiba di ibu kota Korea Selatan tak lain tak bukan Seoul yang berusia lebih dari 600 tahun. Dengan 10 juta penduduk terdaftar yang hidup dalam area sebesar 605.21 kilometer, Seoul merupakan salah satu kota terpadat di dunia. Selain itu, Seoul juga merupakan tanah air artis/aktor/idol favoritnya para remaja.

Tapi lupakan itu. Kita tidak sedang bertamasya. Karena tidak menarik jika menjabarkan bentuk kota itu ke dalam kata-kata dan hanya membuang waktu, jadi mari kita lewati.

Aiden, Dinda, dan Violet memisah dari gerombolan anak laki-laki. Sibuk mengambil foto, menulis daftar destinasi seakan turis. Tampaknya mereka sudah lupa tujuan datang ke Seoul. Yah, maklum lah para gadis. Ditambah latarnya Korsel.

"Mereka bersemangat sekali." Jeremy menepuk dahi. King menyusul langkahnya, terlihat lesu. "Kamu baik-baik saja, King? Ah, benar juga. Masalahnya ada di hati, bukan di tubuh."

"Hati termasuk organ tubuh." King menatap sinis. Dia tidak paham mengapa Jeremy gemar membuat orang jengkel. Apakah itu sebuah berkah?

"Kamu tahu yang kumaksud bukan itu." Jeremy sekali lagi terkikik menggoda.

King mengalihkan topik, lelah meladeni guyonan Jeremy. "Di antara kita berenam, siapa yang bisa berbahasa Korea? Aku rasa itu penting mengingat kita di negara orang. Apalagi nanti kita bakal bertanya-tanya ke sana-sini mencari informasi."

"Tahu deh. Bukan aku."

King dan Jeremy menoleh ke Watson. Yang ditatap seolah ingin mengatakan: apa?

"King!" Pemilik nama tidak salah dengar dan tidak salah lihat. Violet benar-benar memanggilnya, melambai-lambaikan tangan menyuruhnya ke sana. "Tolong fotoin kami!"

"B-baik." Sebagai respon alami, King segera datang. Hatinya melompat senang. Euforia romansa mendayu kesadarannya.

Jeremy menatap Watson, mesem-mesem malu. "Ka-kalau begitu aku ikut mereka. Mau beli aksesoris untuk Hellen."

Sialan. Sekarang tinggal Watson sendiri.

Sherlock pemurung itu mengusap wajah. Kenapa jadinya begini? Mereka datang ke Korea bukan untuk bermain-main...

Tunggu. Watson terdiam, menyadari sesuatu dari deskripsi pendek barusan. Bermain-main? Walah, walah. Sepertinya sudah cukup bertele-tele.

Watson mengeluarkan kamera dan drone Fate (dia membawanya untuk mengamankan barang-barang korban). Ada sebuah stiker pada dua benda itu seperti segel suatu toko. Tapi tidak terlihat produksi Korea. Apakah datang ke Seoul pilihan yang salah? Ini tidak bagus.

"Dan! Kenapa melamun di sana? Ayo kemari! Kita main ke Lotte World!" Aiden berseru. Entah kapan gadis itu membeli tiket masuk. Nah, sejak kapan pula mereka berlima sudah ganti baju jadi pakaian ski? Bahkan Deon pun terbawa suasana.

Watson mendesah pelan. Baru selangkah menyusul, dia tersentak demi melihat tali sepatunya lepas. Mungkin memang sudah waktunya berpikir.

"Aku sedang mencoba drone pemberian Ayahku saat pulang sekolah, menerbangkannya di tengah-tengah gerimis salju. Lalu kameranya tidak sengaja mendapat gambar wanita ini melarikan diri dengan langkah senjang."

Ini alibi akal-akalan Fate.

"Melihat kaki korban yang patah, sepertinya dia dijatuhkan dari rooftop sekolah. Salah satu kakinya tersangkut ke pagar pembatasan. Rooftop tersambung ke bangunan aula. Korban jatuh berguling-guling sampai tiba kemari."

Ini analisis Jeremy ketika mayat jatuh di kubah kaca aula Madoka. Nah, kalian lihat apa yang menjadi penyamanya? Yaitu kaki korban.

"Ada apa, Watson? Wajahmu seram." Jeremy pertama yang menghampiri.

[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang