Entah kesalahan ke yang berapa, Watson tidak menghitungnya. Bagaimana bisa dia melupakan fakta-fakta dari Melioidosis, bagaimana bisa dia melupakan peraturan fundamental menjadi seorang detektif agar selalu mengingat puzzle kecil. Watson bodoh. Dia meneledorkan satu petunjuk besar.
Melihat foto Haruna Judidate dan Mrs. Gweni, mereka jelas akrab satu sama lain. Melancong bersama ke Australia dan terjangkit virus melioidosis. Perbedaan sistem imun, ditambah penyakit bawaan, membuat Haruna lebih dulu terbaring di rumah sakit. Ada kemungkinan Mrs. Gweni juga akan ambruk seperti Haruna, namun sel-sel tubuhnya bertahan lebih lama.
Klik! Lampu padam. Kegelapan menyergap. Menghentikan penjabaran yang sedang terakit di kepala Watson. Pertunjukan telah dimulai.
"Lho, mati listrik?" Jeremy meraba-raba dinding, sedang mencari sakelar.
Tapi sebelum sempat Jeremy menemukannya, sesuatu memukul kepalanya. Suara ambrukan keras menyentakkan yang lain, spontan beranjak bangun dari kursi.
"J-Jeremy? Kamu baik-baik saja? Apa kalian masih ada di sini—" Seseorang membekap mulut Dinda, menyeretnya keluar. Tampaknya para penyusup ini bisa melihat dalam gelap.
"KYAA!"
Deg! Watson terkesiap. Itu suara Violet. Sial. Mereka buta arah. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Para penyusup licik sekali mematikan pencahayaan. Klub detektif Madoka tidak bisa memberi perlawanan.
Mengikuti insting, Watson hendak menyusul sumber suara Violet, namun lengannya digeret oleh seseorang. Aduh, kalau Watson disandera yang lain bakal susah menolong merujuk Watson lagi bisu.
Tetapi aneh. Watson dan orang itu masuk ke lemari sempit pengap, tidak muat diisi dua orang manusia sekaligus. Mereka berdua saling menempel. Jika benar dia seorang penyandera, kenapa dia ikut bersembunyi?
Watson mencoba bergerak.
"Sst!" Sosok itu melarang. Dia menutup mulut Watson, hati-hati mengunci pintu lemari supaya para penyusup tidak melihat mereka. "Aku tidak tahu posisi yang lain. Jadi hanya kamu yang bisa kulindungi sebab kita kebetulan dekat duduknya," bisiknya amat pelan.
A-Aiden? Watson terbata. Ternyata gadis penata rambut itu yang menolongnya.
"Seperti katamu Dan, kita diawasi oleh agen Organisasi. Tampaknya mereka sudah memulai penyerangan. Aku tak bisa membiarkanmu diculik, tapi aku juga khawatir dengan teman-teman. Aku bingung apa yang harus kulakukan."
T-terlalu dekat! Kalau Aiden sibuk merasa bersalah, maka Watson sibuk gelagapan. Matanya berputar-putar pusing. Ini mah sudah bukan terlalu dekat melainkan tubuh mereka sudah saling bersentuhan.
Kacau. Timingnya tidak bagus. Jantung Watson maraton. Ayolah, Watson itu laki-laki normal. Berada di ruang sempit bersama lawan jenis jelas membuatnya gerah.
"Aku melakukan ini bukan berarti yang lain tidak penting, Dan. Tapi... Tapi kami tak bisa apa-apa kalau kamu disandera. Aku terdengar jahat dan egois, ya? Seolah yang lain tidak ada artinya selain dirimu. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu... Dan?" Aiden mengernyit bingung melihat wajah Watson sempurna memerah. "Kamu kenapa?"
Watson menggeleng cepat kayak anak kecil. Dia tidak apa, namun jantungnya yang bermasalah.
Aiden mengepalkan tangan. Perlahan wajahnya ikut merona. "Aku tahu waktunya tidak tepat, namun aku akan mengambil kesempatan dalam kesempitan ini. Kamu selalu menganggap remeh seolah aku hanya bercanda dalam mengutarakan perasaanku. Ketahuilah Dan, aku bersungguh-sungguh mengatakannya."
Apanya? Aduh, jantung. Tolong berdetak lah dengan normal! Aiden bisa mendengarnya!
Gadis penata rambut itu memantapkan hati. "A-aku menyukaimu, Dan. Dalam artian sebenarnya. Dalam sudut pandang laki-laki dan perempuan." Tentu saja dia mengatakannya dengan suara nyaris berbisik. Confess di situasi pelik, hmm boleh juga.
A-Aiden... Watson berbinar-binar.
Klik! Lampu kembali menyala. Mereka berdua serempak menutup mulut rapat-rapat, menyembunyikan embusan napas. Tidak ada lagi anggota klub detektif yang tersisa di sana, melainkan empat orang dewasa berpakaian hitam-hitam gombrang. Sesuai dugaan, pencahayaannya telah dimanipulasi.
"Di mana dua anggota lainnya?" Si Penyusup Wanita berkata dalam intonasi malas, menoleh kiri-kanan. "Kita kehilangan dua orang nih."
"Setidaknya kita sudah menangkap yang diinginkan Bos. Di mana polisi detektif tadi?" ucap Si Penyusup Berkepala Pitak, menjetrek tukik geretan.
"Entahlah. Yang penting berhasil dialihkan."
"Kalau begitu kita langsung pergi saja. Pesawat akan lepas landas malam ini juga. Kita tidak boleh ketinggalan."
Lalu mereka berempat melenggang pergi.
Sepuluh menit menunggu supaya mereka betul-betul pergi, Watson dan Aiden keluar dari lemari persembunyian mendadak. Mereka menoleh ke sekeliling. Bagus, tidak ada orang. Sudah aman.
"Ba-bagaimana sekarang, Dan? Apa kita harus menyusul mereka? Aduh, Inspektur Deon ke mana?" Aiden panik. Dia keluar sepenuhnya dari lemari.
"Ketemu." Satu pria dari empat agen tadi sudah menantikan momen Watson dan Aiden keluar dari tempat sembunyi. "Kalian pikir aku tidak tahu kalian ada di sana?" Rupanya yang dipegangnya bukan korek api, melainkan taser. Bergemeletuk siap merubuhkan Aiden.
Celaka. Aiden terlambat menghindar.
Awas! Watson refleks mendorong Aiden ke tepi sehingga serangan taser itu mengenai badannya. Tumbang seketika.
"DAN!" Aiden berseru.
"Ternyata kamu bisa bersikap jantan juga. Melindungi perempuan." Pria itu memandang datar. Tak peduli. Malahan dia sudah sigap hendak menyerang Aiden, anggota klub detektif yang tersisa. Bagaimanapun tugasnya adalah membungkam remaja-remaja asal Madoka itu. "Waktunya menyingkirkan member terakhir... Hmm?"
Pria itu dikejutkan oleh Aiden yang menatapnya dengan ekspresi kosong. Tatapan berbahaya. "Apa yang sudah kamu lakukan?"
Glek! Dia menelan ludah. Hawa Aiden memberat, makin memberat ketika dia berdiri. "Prinsip keluarga Eldwers, selalu melindungi orang-orang tersayang. Aku tidak apa-apa jika aku yang terluka, namun aku tidak tahan kalau orang yang kusuka terluka menggantikanku. Kamu telah membuat kesalahan."
Satu tendangan yang tepat mengenai titik vital manusia. Fatality! Pria itu K.O tak cukup beberapa detik. Dia salah menantang Aiden.
Sementara itu, Watson melenguh pelan, mengusap-usap kepala. Aneh-aneh saja detektif satu ini. Yang kena serangan stun-gun badannya, kok yang sakit justru kepala?
"Lho, Dan? Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?!" Aiden bertanya khawatir.
Sungguh, tidakkah ada yang mengingat bahwa Watson dulu menjadi bulan-bulanan penjahat kriminal di New York? Bermacam-macam jenis ofensif telah dia cicipi, termasuk diserang pakai taser. Berkali-kali. Dengan semua catatan pengalaman itu, tubuhnya tahu-menahu menjadi kebal. Paling roboh sebentar, lalu siuman. Kecuali jika kritikalnya benar-benar besar.
Watson memungut buku komunikasinya yang kebetulan tergeletak tak jauh darinya. 'Kita harus cepat, Aiden. King dan Bari dalam bahaya.'
Aiden mengernyit. "King dan Jeremy?"
'Mereka lah yang diincar oleh Bos organisasi. Aku sekarang tahu jawabannya, tapi akan kujelaskan nanti-nanti. Tidak sekarang. Kita harus mengambil penerbangan secepat mungkin sebelum semua tiket malam habis.'
"T-tapi kita akan ke mana, Dan?"
Moufrobi, jelas. Di sanalah pelelangan akan dilaksanakan. Watson menggeram.
"Kalau urusan tranportasi kamu tenang saja, Dan," ucap Aiden trsenyum. "Kamu masih ingat 'kan kita kemari pakai jet pribadi? Kita bisa datang lebih dulu dari mereka." []
Minggu, 27 februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Jeremy Bari - Fail Snowdown
Mystery / ThrillerJerena Bari, itulah nama kakak Jeremy. Seorang wanita tunagrahita yang menghilang selama setahun. Walau sudah meminta bantuan polisi dan divisi pencari orang hilang, Jerena tak kunjung ditemukan. Tampaknya dia tersesat jauh. Di balik keceriaannya...