27

412 173 224
                                    

Sudah cukup dengan Watson, sudut pandang Aiden ataupun King. Kita tiba di bagian "tokoh utama". Lagian series ini bertajuk pada kisah Jeremy. Tidak adil dong kalau dia tak mendapat bagian. Makanya empat episode terakhir ini miliknya.

Hari pertama keluarga Bari mengadopsinya. Tidak mungkin, kan, dia langsung bersorak hepi mendapat orangtua. Melompat senang lantaran diangkat oleh keluarga kaya raya. Ayolah, kesehatan mental anak itu mencapai titik nol. Tidak mudah menggerakkan hati seorang penyandang disabilitas.

Hari kedua keluarga Bari mengadopsinya. Anak itu masih mengurung di kamar. Tidak tertarik dengan manusia-manusia yang silih berganti mengetuk daun pintu, meminta keluar untuk makan dan mandi. Bodo amat. Dia hanya menatap kosong ke selimut tebal. Tenggelam dalam distopia masa lalu. Menangis sendirian.

Hari ketiga keluarga Bari mengadopsinya. Selise merasa khawatir sebab sudah dua hari anak itu tidak makan, memutuskan masuk ke dalam kamar menggunakan kunci cadangan. Lihatlah bocah itu, duduk di sudut ruangan layaknya orang paranoid. Layaknya manusia rapuh yang bisa mati disentuh barang sedikit saja. Selise belum mampu mengajaknya bicara, namun dia meninggalkan air mineral dan sebungkus roti, tersenyum hangat.

Hari keempat keluarga Bari mengadopsinya. Astaga! Betapa senangnya Selise melihat air dan roti yang dia tinggalkan kemarin tandas oleh anak itu. Perlahan namun pasti, Selise rutin meninggalkan kudapan sama persis. Dia memperbaiki pola makanan anak itu, bahkan sudah mulai meletakkan bekal.

Hari ketujuh keluarga Bari mengadopsinya. Anak itu sudah mau sedikit demi sedikit merespon kala Selise atau Goran bertanya. Walau hanya baru mengangguk dan menggeleng. Tapi, hei, ini peningkatan dari hari pertama lho.

Hari kelima belas keluarga Bari mengadopsinya. Anak itu kini berani keluar-masuk kamar. Awal-awalnya takut, celingak-celinguk memperhatikan tidak ada manusia selain dirinya. Mengendap ke dapur untuk mengambil cemilan yang sengaja Ama letakkan di situ lalu kembali ke kamarnya.

Hari ke dua puluh dua keluarga Bari mengadopsinya. Jerena sudah bisa bermain di depan anak itu. Dia tidak lagi mengunci pintu atau menyuruh orang-orang keluar. Jerena santai melempar bola karet, menyusun balok-balok, menaiki kuda lumping. Sayangnya anak itu hanya menonton di kasur, separuh takut separuh antusias akan permainan yang dilakukan Jerena.

Hari ke tiga puluh keluarga Bari mengadopsinya. Yes! Akhirnya Jerena bisa bermain bersama dengan anak itu. Tidak hanya bermain, dia sudah mau makan bersama, mandi bersama, nonton televisi bareng, tidur bareng. Anak itu telah menunjukkan responsif kehidupan.

Sampai waktu demi waktu berlalu membawa keluarga Bari ke hari seratus, genap tiga setengah bulan mengadopsi anak itu. Yang mereka tunggu-tunggu selama ini... Akhirnya, akhirnya, anak itu berbicara! Dia memanggil Selise: mama. Dia memanggil Goran: papa. Dia memanggil Jerena: kakak. Astaga! Ini seperti Jerena sewaktu pertama kali belajar naik sepeda. Mereka sangat bahagia berhasil "menyembuhkan" anak itu.

Hari diganti minggu, diganti bulan, lalu sekali lagi diganti tahun. Beberapa tahun semenjak keluarga Bari mengadopsinya. Anak itu mendengar kabar kalau orangtua kandungnya meninggal karena mengonsumsi obat-obatan terlarang.

"Tidak apa, Ma. Bari sudah kuat kok. Bari pergi sebentar ke pemakaman." Begitu katanya saat meminta izin berziarah ke makam mantan orangtua terkutuk.

Sesampainya, hujan turun deras. Basah kuyup. Anak itu sampai di batu nisan ayah dan ibu kandungnya. Dua antagonis yang menyiksanya selama ini. Apakah fakta bahwa mereka berdua yang membuatnya lahir itu penting? Apa gunanya heh dia dilahirkan kalau untuk disiksa, dijual, dipukul, dan di—lainnya.

Tidak ada tatapan nelangsa. Tidak ada gurat kesedihan tercetak. Tidak ada air mata. Tidak ada rasa sesak. Dia sama sekali tidak tersentuh hatinya. Hanya pandangan datar dia tujukan ke batu nisan.

"Apa kini kalian percaya pada karma? Hahaha, bagaimana keadaan kalian di alam baka? Pasti diperlakukan buruk. Tuhan sedang menghukum kalian, jangan berharap ada yang menolong. Bayar semua tindakan kalian di neraka hingga aku puas dan memberi pengampunan entah kapan. Tapi jangan terlalu mengharapkanku, sebab aku tak yakin bisa memaafkan. Kalian sering melakukannya, kan? Maafku diabaikan, permohonanku dianggap angin lalu, salah atau tidaknya aku kalian tetap memukuliku. Nah, saatnya ganti giliran. Ganti tempat. Aku sudah mendapat keluarga baru yang
sungguh-sungguh menyayangiku. Bukan seperti kalian. Ironis. Bisa-bisanya keluarga angkat lebih hangat daripada keluarga biologis. Ini pertemuan terakhir. Selamat tinggal, Bu, Yah. Selamat menderita."

Tetapi, potongan masa lalu itu mendadak buram laksana kanal televisi yang kehilangan sinyal lalu berubah jadi layar piksel.

Jemari Jeremy terlihat bergerak. Dia mulai siuman. Mengerjap menyesuaikan pencahayaan. Astaga, kepalanya sungguh terasa berat. Dia dipukul pakai apaan dah.

Di mana ini? Jeremy menyapu pandangan ke sekeliling. Dia tidak sendiri. Dimulai dari wanita-pria dewasa, remaja cewek-cowok, bahkan lengkap dengan anak-anak. Berderetan memenuhi ruangan. Wajah mereka murung. Lecet-lecet. Dalam kondisi terikat. Mereka kurus kekurangan gizi.

Jeremy menelan ludah. Berpikir cepat. Jangan-jangan ini sarang lumbung korban Organisasi menyimpan para pemilik identitas? Aduh, dia salah redaksi kata. Seharusnya 'menyembunyikan' bukan 'menyimpan'. Kan jadi terkesan ambigu...

Ka-kalau begitu Jerena pasti ada di sekitar sana! Jeremy mencoba bangkit, namun jatuh. Tangannya diborgol rupanya. Menggunakan segenap tenaga, rantai penghubung borgol besi itu pecah berderai begitu saja. Keinginan kuat Jeremy menemukan kakaknya tidak akan dihalang oleh sebuah borgol.

Sesaat kemudian, baru lah Jeremy merasakan perih di telinga. Menyentuhnya, ada semacam label harga tergantung. Sialan! Orang-orang bedebah itu pasti menindik telinganya pas Jeremy pingsan. Lihat saja nanti, akan Jeremy hajar satu per satu!

Sekitar dua menit...

Langkah Jeremy terhenti. Untuk seukuran remaja yang gemar berkelahi, tameng dari klub detektif Madoka, reuni ini membuatnya Berkaca-kaca. Ekspresi bahagia.

Satu tahun dia mati-matian meminta tolong pada posisi, juga pada badan nasional pencari orang hilang. Satu tahun dia membayar semua orang yang boleh jadi bisa mempertemukan mereka kembali. Ternyata, hahaha, memang dari awal Jeremy minta tolong pada Watson.

Itu jelas Jerena Bari, kakak angkatnya. Dengan pakaian sama terakhir kali yang dia ingat. Sudah lusut seperti kain lap.

"Kakak... Akhirnya Bari menemukanmu..."

Jerena tersentak, mendongak, tersenyum ala cengiran bocah. "Jeri? Jeri datang untuk menyelamatkan kakak? Jeri dari mana saja, Rena takut di sini. Jeri kenapa datang terlambat. Jeri..."

Tak usah disuruh, Jeremy melompat memeluk tubuh ringkih kakaknya. "Maaf Jeri telat ya, Kak... Kakak pasti sudah sangat lama menunggu... Maaf Jeri tidak datang lebih cepat. Susah tahu."

Belum cukup lima menit reuni, tubuh Jeremy ditarik kasar oleh pria berpostur tubuh beruang yang menembak King. "Akhirnya sadar juga. Cepat bawa dia ke podium—"

Bugh! Terpelanting! Pria itu benar-benar terbanting oleh Jeremy. Balas dendam King terbayarkan.

"Kamu bosnya? Kamu akan mati hari ini."

"Hehehe. Kamu yakin?"

"Apa maksud—"

Seseorang mendekat. Berdiri tepat di belakang Jeremy. Dia menoleh. Seketika terbelalak. []


[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang