20

448 182 81
                                    

Kenapa... Kenapa Watson tidak bisa berpikir sedikit pun? Kenapa pikirannya kosong? Dia mengepalkan tangan. Menjengkelkan ketika tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Masa Watson kembali ke masa-masa dahulu?

Ayolah, menjadi beban dan tak berguna itu sangat lah berat. Watson tak ingin merasakan kembali situasi di masa lalu. Watson tidak ingin mengalami regresi. Dia ingin menolong Jerena Bari.

"Posisimu adalah bayangan, Watson. Akulah cahayanya. Pikirmu apa yang bisa kamu lakukan, hmm? Mencoba bersinar dengan cahayamu yang lemah itu?"

Tidak! Watson takkan mau menjadi karakter dalam bayangan lagi! Dia sudah muak, selalu dihantui oleh sosok Jam yang keberadaannya entah di mana saat ini. Kenapa Watson harus takut terhadap orang itu? Memang apa salahnya kalau dia sedikit beruntung dijadikan tokoh utama?

Hahaha, benar juga ya. Toh latarnya bukan kerajaan yang masih memakai sistem meritokrasi. Beranilah sedikit, Watson. Kendalikan ketakutan yang tak berdasar itu.

Tok, tok, tok!

Watson menoleh muram ke pintu. Ternyata King. Dia melangkah masuk setelah mengucapkan 'permisi' dalam gumaman kecil.

"Yo, pak ketua!" sapa King menepuk bahu sherlock pemurung itu. Dia tersenyum lebar, duduk di sebelah Watson membuat kasur melesak beberapa senti. "Kata Violet kamu mengurung diri seharian. Aiden sangat cemas karena kamu tak merespon panggilannya. Jeremy pun tak berani mengganggumu, sibuk menyalahkan diri. Dia pasti berpikir kamu masygul begini karena kasusnya."

Watson diam saja. Satu, dia tidak bisa berbicara. Dua, walau dia bisa, Watson tidak tahu harus menanggapi apa. Mungkin King sedang berbasa-basi.

Terus terang, King juga tidak mau mengusik Watson yang lagi susah hati. Hanya saja atas usul Aiden, merujuk dia "masih" anggota baru, King mesti mengakrabkan diri dengan sang ketua klub.

King berdeham. "Jadi, apa masalahmu, pak ketua? Kamu tidak seperti biasa. Aku tidak merasakan keantusiasan darimu."

Buntu. Watson sedang buntu. Jangankan petunjuk lokasi organisasi penjualan identitas, bahkan kepalanya tidak bisa memikirkan satu hal kecil.

"Tapi perkataanmu terakhir kali membuatku merinding sumpah," kata King, mengayun-ayunkan kakinya membuat kasur empuk berdecit. "Peternak membiarkan hewan ternak memakan rumput sebelum disembelih. Aduh, apa kamu tidak bisa mencari kata ibarat yang lain?"

Watson mendengus, seakan menyuruh King keluar dari kamarnya sekarang juga. Dia sedang tidak ingin diajak bercanda.

"Aku mendengar sesuatu dari Kak Apol."

Satu alis Watson terangkat mendengar nama yang bikin gemas sepanjang menjalani kehidupan sekolah. Terlebih, "kak"? Kenapa King memanggil si busuk Apol itu dengan embel-embel demikian? Bukankah seharusnya Apol yang hormat padanya? King itu 18 tahun. Begitu banyak pertanyaan di kepala Watson dari sederet kalimat barusan.

"Kak Apol bilang: ini akan menjadi rumit. Lalu Ayahku menjawab: jangan membebani diri. Aku yang salah karena terlalu meremehkan. Andai aku lebih cepat meminta pertolongan mereka. Nah, 'mereka' yang dimaksud di sini kurasa mungkin adalah klub detektif." King mengulang persis kalimat-kalimat Apol dan kepala sekolah.

Informasi baru. Watson jelas tidak tahu mengenai hal itu. Kapan mereka berbicara? Apakah saat jatuhnya mayat Manava di aula? Kenapa kepsek membutuhkan bantuan mereka? Kenapa kepsek melarang Apol menggayuti diri? Deretan teka-teki bermasukan ke otaknya.

King beranjak bangkit. Tugasnya sudah selesai. Semoga saja kali ini Watson berhasil mendapat titik terangnya. Semua orang telah menunggu pergerakan selanjutnya.

Hening sejenak.

Watson menyambar ponselnya, mengirim pesan pada si informan misterius. 'Bisakah kamu carikan pengeluaran kas pada akun rekening pribadi milik kepala sekolah Madoka baru-baru ini?'

Si informan yang masih belum diketahui identitasnya menjawab cepat. [Kepala sekolah telah melakukan transaksi pembelian rumah... Astaga? Beliau membayarnya secara tunai, Wat. Tapi, bukankah beliau sudah punya rumah besar? Kenapa membeli rumah baru?]

'Kepada siapa beliau mengatasnamakan rumah tersebut?' Watson mengetik balasan kilat.

[Nyonya Alianore Kincade. Lho? Itu 'kan nama ibunya wakil kepala sekolah. Kenapa kepsek membeli rumah untuk orang lain?]

Deg! Seketika Watson teringat gunjingan guru-guru tentang Mrs. Gweni.

"Tapi kudengar, wakepsek dekat dengan Pak Kepsek lho. Mungkin seleranya duda-duda kali, ya? Tak habis pikir."

Tidak, tidak, tunggu. Watson tak boleh menarik asal kesimpulan. Kali saja mereka dekat sebagai rekan... Tapi, eh, kemarin Watson juga menemukan foto kepsek bersama Mrs. Gweni di ponselnya King. Bukankah itu lebih dari kata 'rekan'? Skinship mereka berdua sudah jauh dari definisi rekan.

Hei, hei, jangan bilang mereka berdua mempunyai hubungan mesra secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan oleh guru sekolah, murid-murid, termasuk King?

Masuk akal. Mungkin itulah penyebab mengapa kepsek skeptis meminta tolong pada klub detektif supaya tidak mengecewakan putranya (andai ketahuan), memilih mengandalkan Apol. Nyatanya kasus ini lebih pelik dari dugaan Apol. Mereka menyerah mengurusnya lantas mengopernya pada klub detektif.

Kalau begitu, petunjuk apa saja yang Apol dapatkan? Dia pasti mendapatkan sesuatu atau boleh jadi, jangan-jangan dia sudah memberikan 'petunjuk' itu pada Watson secara tidak langsung.

Saat itu, entah apa yang terjadi, insiden ruang di bawah lantai klub terlintas begitu saja ke benak Watson. Dia tersentak.

Gasp! Ah, sial. Bagaimana bisa Watson melewatkan poin penting itu?! Pertanyaan tentang kenapa Fate bisa tahu ada ruang rahasia di klub detektif. Kenapa dia bisa mengetahuinya? Siapa Fate sebenarnya?

"Bukan begitu caranya, Watson Dan. Kamu harus menekannya."

"Kamu penasaran bagaimana aku tahu? Anlow yang memberitahuku."

"Semoga beruntung terhadap kasus kali ini. Madoka berharap banyak pada kalian, klub detektif."

Watson tersenyum miring. Begitu rupanya.

-

Apa yang harus kita lakukan? Merupakan pertanyaan andalan Aiden dan Jeremy ketika mereka buta arah. Ditambah Watson sedang suntuk, semakin buta lah langkah mereka berempat.

Deon menghela napas panjang. Walau dia satu-satunya orang dewasa di situ, Deon tak bisa menolak fakta bahwa dirinya tidak berguna. Dia sekarang paham, selama ini yang mengarahkannya adalah Watson. Dan ketika Watson tidak memberi perintah, apa yang bisa Deon perbuat? Hanya bisa kicep. Menyebalkan.

Aiden menyikut lengan King. "Bagaimana? Apa kamu sudah memberitahu Dan apa yang kamu dengar?" tuntutnya. Aiden lah yang mengusulkan agar King menemui Watson. Hari ini pun Aiden masih memakai konde pemberiannya.

"Sudah kok." King bersungut-sungut. Dia tidak apa-apa disikut perempuan, tapi kalau perempuannya itu Aiden, King jadi berpikir dua kali menyodorkan lengannya sukarela.

"Lalu kenapa Dan masih belum datang?" Aiden menghela napas panjang. "Apa Dan benar-benar sebuntu itu?" Rasanya aneh merujuk selama ini Watson baik-baik saja dalam berdeduksi.

"Kita tunggu saja." Dinda berkata.

Tepat setelah Dinda menggenapkan kalimatnya, pintu ruangan terbuka kasar seolah didorong paksa. Mereka berempat sontak menoleh, berseru tertahan.

Watson menampilkan tulisan di buku. 'Fate Krista adalah anak buah Apol. Dia di pihak kita.'

Mereka tidak melihat "tanda kusut" lagi di kepala Watson. Itu menandakan kalau sherlock pemurung tersebut telah mengatasi kebuntuannya. []





Jumat, 25 februari 2022





[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang