14

457 180 63
                                    

Pukul sebelas malam.

Watson memandang datar pemandangan Seoul di apartemen, bedeng sementara untuk klub detektif Madoka. Kerlap-kerlip lampu gedung dan tranportasi terlihat berkilau di manik biru langitnya. Teleponnya tersambung oleh seseorang yang entah siapa.

[Entah ini membantu atau tidak, aku mendengar percakapan dua remaja tentang murid baru di sekolahnya. Mereka bilang tingkah laku mubar itu mirip dengan seorang murid hilang. Setelah kucari informasi mengenai murid yang hilang tersebut, ternyata dia korban pembulian yang dinyatakan bunuh diri.]

Apa hanya itu? Watson menoleh ke ponsel. Seakan si penelepon sudah tahu apa yang dia mau.

[Hal serupa juga terjadi di sebuah kafe. Ketika seorang karyawan kawakan digencet oleh teman-temannya dikatakan menghilang, tiba-tiba muncul karyawan baru yang karakteristiknya sama persis dengan karyawan sebelumnya. Bedanya dia muncul dalam kepribadian asing. Tidakkah menurutmu itu aneh?]

Ini jelas bukan kebetulan biasa.

Watson mematikan panggilan setelah mengirim pesan 'aku akan membutuhkanmu nanti', kembali memandang jejalanan. Jika Violet sedang bersamanya, dengan siapa Watson meminta informasi? Sepertinya dia masih memiliki teman lain.

"Masih belum tidur, Watson?" celetuk Jeremy mengucek mata. Dia tersentak karena tidur King seperti kuda. "Ini hampir tengah malam."

Bagaimana bisa Watson tidur saat kepalanya berdenyut-denyut memikirkan kasus? Dia hanya tidur ketika narkolepsi-nya kambuh.

"Dulu Kak Jerena tidak seperti sekarang." Jeremy berkata pelan.

Watson menoleh kepadanya. Walah, walah. Tampaknya Jeremy ingin bercerita topik keluarga. Hehehe boi, ini bagus untuk menambah informasi.

"Dia sehat. Dia ceria. Bahkan dialah yang memilihku untuk diadopsi oleh Keluarga Bari. Aku, anak yang diasingkan di panti. Entah apa yang dia pikirkan. Aku rasa kualitas Panti Snowdown tidak seburuk itu sampai dia memilihku."

Watson mengernyit tak suka.

"Dia memberiku kebahagiaan, Watson. Dia menepati janjinya ketika hendak mengadopsiku. Dia merubah seseorang yang sekarat menjadi hidup. Dia memperbaikiku yang rusak ini. Dia merawatku dengan kasih sayang." Jeremy mengusap anak rambut, terkekeh sarkas. "Tidak seperti mereka yang disebut orangtua kandung. Sebenarnya definisi keluarga itu apa? Kenapa mereka tega melakukan itu padaku? Aku putra mereka lho. Apa hanya karena aku anak laki-laki mereka jadi semena-mena terhadapku? Memakaikanku baju perempuan, memukuliku, tidak memberiku makan, menyuruhku melakukan semua pekerjaan rumah. Hahaha, dunia sungguh jahat. Kalau mereka tidak menyukaiku, kenapa mereka membuatku lahir?"

Jeremy melepaskan kacamata palsu itu. "Kamu tahu kenapa aku selalu memakai benda ini padahal tidak berlensa? Itu karena aku takut pada wajahku. Bayangan aku yang dipaksa memakai baju perempuan selalu muncul jika aku membukanya."

Aduh. Watson tak pandai menghibur.

Lihat dia, tegang mendadak. Harus apa, ya? Harus apa, ya? Tepuk-tepuk punggungnya? Idih, nanti dikira belok. Semangatin? Eh, woi, suaranya lagi menghilang.

"Makanya aku senang kamu mau membantuku mencari kakak. Terima kasih, Watson... Sedang apa kau?" Alis Jeremy terangkat melihat Watson menatapnya serius.

Watson membuka mulut, tampak seperti ingin berbicara namun kata-kata itu tak bisa keluar. Seolah tertelan kembali ke tenggorokan. Susah payah Watson memaksa mulutnya agar tidak hanya bergerak-gerak saja.

Jeremy keheranan. "Jangan bilang kamu—"

"Te ..." Walau pelan dan berat, Watson terus berusaha. Ayolah, ini tidak susah. Lihat saja orang-orang bisu di luar sana. Meski kemungkinannya kecil, mereka tidak menyerah mengembalikan suara yang hilang.

[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang