18

441 176 10
                                    

Deon mengadu kedua telapak tangan, menggosok-gosoknya agar menciptakan sensasi hangat. "Kamu tak pernah bilang pandai bermain panah, lebih tepatnya aku tak menyangka kamu bisa memanah. Kenapa baru unjuk bakat sekarang, heh? Kamu mau pamer di depanku?" katanya diselingi nada jengkel. Dia selalu merasa kesal ketika berjumpa dengan sherlock pemurung itu.

'Memberi umpan.' Tolonglah, jangan bertanya hal tak penting pada orang yang susah berkomunikasi. Apa Deon tidak mau sedikit pengertian padanya? Lagian saat ini, Watson merasa telah terjadi sesuatu di dalam kepalanya.

"Umpan apa maksudmu?" Deon bertanya lagi, tidak sensitif akan helaan napas Watson.

Yosh, waktunya memakai aplikasi pengubah ketikan jadi suara. Benar juga ya. Watson punya gadget itu, kenapa dia tidak memikirkan berbicara pakai aplikasi saja? Daripada buang-buang kertas dan menambah dosa (mengumpat tiap menulis obrolan).

'Aku belum bisa memberitahu semuanya, tapi percayalah, jika mereka tidak mau datang ke pertarungan maka aku yang akan memanggil paksa mereka ke medan tarung.'

"Kamu..." Deon mengusap kasar wajahnya. "Apa kamu memprovokasi musuh? Astaga, Watson, itu bahaya. Selain kita tidak tahu mereka di mana, kita kalah jumlah. Buat apa kamu melakukan pertarungan yang hasilnya sudah kelihatan?"

'Inspektur, jika Anda tidak tahu siasatku lebih baik tutup mulutmu dan jangan banyak tanya. Kepalaku sakit menjelaskan ini-itu terhadap otak kosong kalian yang tak berguna.' Sungguh, ada yang salah dengan sherlock pemurung itu. Jarang-jarang Watson berkata kasar, walau lewat aplikasi.

"Kamu baik-baik saja?" Deon mengernyit. Perubahan Watson jelas mengusik pikirannya.

Coba pikirkan, apa untungnya Watson susah payah melakukan semua ini? Mereka berdesakan meminta pendapat atau arahan darinya untuk kepentingan serta kesenangan pribadi. Sementara dia, apa yang dia dapatkan?

Ayolah, Watson sudah muak. Dia ingin Snowdown cepat-cepat berakhir. Dia mau berhenti berpikir meski sebentar. Dia mau istirahat. Watson lelah dan mengantuk. Jenuh memaksakan otak berpikir berkepanjangan. Ini tidak ada artinya.

"Apa yang mengganggumu, Watson?" Deon gregetan. Ekspresi datar cowok itu perlahan memperlihatkan mimik jemu. "Sudah kubilang jangan mengerasi diri sendiri..."

Eh, apa ini? Deon mengerjap heran. Rasanya ada 'ilustrasi kacau' dalam bentuk fisik melompat-lompat di atas kepala Watson.

Watson sendiri masih asyik bermonolog tanpa tahu Deon di belakang berusaha menyentuh kepalanya. 'Mereka hanya mengandalkanku. Dipikir gampang apa memikirkan hal rumit. Aku selalu memaksa otakku untuk mencari jawabannya. Apa ada artinya aku melakukan ini? Ah, persetan dengan hobi sialan.'

Deon mengetuk kepala Watson. Cowok itu menoleh, ekspresi kesal. Guratan di atas kepalanya tidak mau hilang. Apa?

"Kamu yakin baik-baik saja?" Entah pentingkah nilai pertanyaan ini atau tidak. Deon hanya merasa sesuatu merusak kepala sherlock pemurung itu. Tempat yang bernama 'Istana Pikiran' dalam kekacauan.

Watson malah melewatinya begitu saja. 'Kita turun sekarang.' Demikian katanya.

-

Aiden tersenyum sumringah melihat kedatangan Watson dan Deon, seperkian detik mengernyit (reaksi sama seperti Deon) demi melihat tanda 'seliweran yang berantakan' seakan hidup sedang melompat-lompat di atas kepala Watson.

"Dan, benda apa di kepalamu itu?"

Secepat kilat Deon mendahului langkah Watson, ber-sst panjang. Aiden dkk bersitatap. Deon lantas memberitahu lewat gerakan tangan. Pikirannya lagi rusuh. Memutar-mutar jari telunjuk ke kepala.

Aiden dan Jeremy ber-oh paham.

Kembali ke cerita. Watson mendatangi Dinda, seenak jidat menyambar lengan gadis berdomisili Indonesia itu. Melakukan pemeriksaan dadakan.

"A-apa yang kamu lakukan, Watson?"

Memastikan tidak ada yang mencurigakan, Watson 'membuang' lengan gadis itu secara agresif. Tidak ada sopan-sopannya. Dia bersih. Mungkin benar dugaanku, organisasi sampah itu memancing kami ke Korea dengan menyalakan pelacak Jerena.

"Dan!" Aiden mendelik. "Kamu tidak sopan—"

Violet menarik tangan Aiden, menggeleng resah. "Jangan ganggu dia."

"Tapi Dan berbeda dari Dan yang biasa."

"Kamu lihat sendiri tanda kacau di kepalanya. Itu selalu muncul ketika tempat yang dia sebut Istana Pikiran mengalami kerancuan. Biarkan saja dia dulu."

"Eh, iyakah?" Bisa-bisanya mereka bergunjing di depan orangnya. Tapi mereka beruntung otak Watson lagi bermasalah, jadi dia takkan menghiraukannya.

"A-apa?" Giliran Jeremy yang diganggu.

Watson menyodorkan buku komunikasi ajaib. 'Apa Jerena masih ada bersamamu selagi kamu sudah berteman dengan Dinda?' Yah, pikirannya memang sedang rusak, namun sherlock pemurung itu masihlah bijak menanyakan hal primer secara hati-hati. Jika dia menggunakan aplikasi, orang yang bersangkutan ikut mendengar.

"K-kakak masih ada. Kenapa bertanya?" Gugup, itulah yang Jeremy rasakan. Hawa Watson terasa sangat berbeda. Otak cowok itu benar-benar kacau!

Hee. Watson menggaruk kepalanya, pandangan arbitrer. Analisisnya semakin kuat.

"Watson." King bersuara. Dia ingin memastikan hipotesanya benar atau salah. "Kamu sudah tahu kan kalau kasus Snowdown, tidak, maksudku organisasi yang menculik wanita-wanita itu memperdagangkan identitas? Kemudian pemilik identitas asli dijadikan budak..."

King melongo, batal bertanya. Lihatlah! 'Tanda kacau' di kepala Watson memantul seperti per. Menyebar laksana aliran las yang melenting ke sana-sini. Astaga, apa cowok itu baik-baik saja?!

'Berikan aku ponselmu.' Demikian yang disampaikan aplikasi suara sesuai ketikan.

"Untuk apa?"

Sudahlah, berikan saja. Watson bodoh amat King komplain atau semacamnya. Dia segera merampas benda pipih favorit jutaan umat yang dikeluarkan King. Begitu menyala, layar menampilkan kata sandi.

King tersenyum remeh. "Kamu takkan tahu password-nya."

Watson memandang malas, mengetik beberapa huruf, dan simsalabim! Kata sandi benar! Si empunya melotot jeri. "Ba-bagaimana bisa?! Kenapa kamu bisa tahu?!" Perasaan King tidak pernah memperlihatkan password ponselnya ke siapa pun. Watson spontan menunjuk kepalanya. Mungkin maksudnya: aku punya otak brilian.

Malangnya otak kebanggaanmu itu sedang rusak, Watson/Dan. Aiden dan yang lain membatin.

Coba kita lihat. Watson menelusuri galeri hape King, bergumam mendapati gambar King bersama kepala sekolah serta wakepsek. Fokus Watson hanya itu sampai dia tidak melihat ada beberapa foto misterius pada slip berikut. Rasanya Watson pernah melihat gambar tersebut.

Ingatannya kembali ke episode 9. Dimana dia memeriksa ruang Mrs. Gweni.

Meja-kursi penuh dokumen sekolah.

Tidak, bukan ini.

Sebuah globe yang terhenti di benua Korea dengan coretan spidol dan poster kontes kecantikan.

Iya, ini termasuk ke petunjuk. Tapi bukan itu yang Watson cari. Dia kembali menggali ingatan membuat 'tanda kacau' di atas kepalanya meluber. Ah, percuma saja. Tidak ada lagi hal yang mengganjal.

Humuh-humuh. Apa organisasi sialan itu menggoda Mrs. Gweni agar datang ke Korea?

"Serahkan padaku." Violet mengangguk kalem, tahu apa yang Watson pikirkan ketika sherlock pemurung itu mengalihkan perhatian padanya.

Mulai mencari informasi.

"Tidak ada riwayat pembelian tiket pesawat, Watson. Aku rasa wakil kepala sekolahmu belum sempat datang ke Seoul dan sudah diculik oleh mereka."

"...." Yang lain terdiam lama.

Watson menundukkan kepala. Entah apa yang terjadi, dia ditendang keluar dari Istana Pikiran miliknya sendiri. []





Rabu, 16 februari 2022






[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang