"Fate Krista rekan Apol?"
Watson mengangguk. Semua poinnya cocok. Fate tidak asal menemukan tentang ruang rahasia di bawah lantai klub. Bukankah itu aneh? Bagaimana bisa orang asing tahu persis ada tempat kecil bersembunyi di sana. Fate di bawah komando seseorang yang mengetahui seluk beluk klub detektif. Tak lain tak bukan Apol. Hal ini tidak bisa disangkal lagi.
Fate bekerja sebagai mata-mata Dewan Siswa yang mungkin hanya Apol terlibat, tidak dengan anggota lainnya. Apol menyuruh Fate berjaga-jaga di Gang Janden C2 menggunakan drone itu demi mencari wakil kepala sekolah yang diculik.
Glek! Violet menelan saliva pahit, gemetar menerjemahkan perkataan Watson. "K-King, aku tahu ini sensitif tapi Watson tetap akan menanyakannya. Apakah ibumu masih ada?" Ini tergantung jawaban King. Semuanya akan jelas sesudahnya.
King mengerjap pelan, menggeleng. "Ibuku sudah meninggal. Kenapa memangnya?"
Watson menyeringai. Dia tahu itu. Dengan semangat dia membalikkan halaman di buku komunikasinya. Semua pasang mata di sana sontak membola, menatap tak percaya.
'Aku pikir kepsek memiliki hubungan romansa terhadap wakepsek. Beliau ingin melupakan almarhum istri dan membuka lembaran baru bersama wanita baru. Oleh karena itu kepsek mengerahkan seluruh dana yang beliau punya kepada Dewan Siswa agar secepatnya menemukan Mrs. Gweni. Sayangnya kasus ini dialihtugaskan ke kita.'
Astaga. Aiden menutup mulut. Jeremy dan Dinda turut prihatin. Violet tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Bagaimana bisa kepsek setega itu? Apa dia tidak memikirkan perasaan anaknya?
King hanya menunduk. Wajah datar.
"Tapi, Dan, apa motif Fate mau melakukannya sejauh itu? Sampai rela mengorbankan nyawa, dia pasti tidak mungkin berjibaku terhadap hidup-matinya, kan?" Aiden bertanya. Masih penasaran.
Watson menggeleng. Dia belum tahu. Sekali lagi menyikut lengan Violet, meminta diterjemahkan. Violet melotot, bersungut-sungut menerjemahkan. "Watson berpikir kalau Apol menemukan petunjuk besar dari hasil penyelidikan tunggalnya."
"Oh, ya? Apa itu?" King tertarik.
Nama tempat pelelangan yang akan diselenggarakan organisasi penjualan identitas. Seharusnya ini sih yang Watson katakan pada mereka, namun jemarinya malah nakal menulis hal lain.
'Aku tidak bisa berpikir jika lapar.'
Hening sejurus kemudian. Mereka pikir Watson menjawabnya dengan sungguh-sungguh, namun apakah ini? Apa sherlock pemurung itu sedang bercanda dengan mereka?!
Deon pertama yang menyerbu cowok itu. Disusul Violet dan King, lantas terakhir Aiden dan Jeremy. Hanya Dinda seorang senantiasa duduk kalem di kursi. Geleng-geleng kepala. Mood detektif muram itu sepertinya membaik sebab bisa bergurau. Demikian pikirnya.
Jujur saja, yang Watson lakukan sebenarnya adalah mengulur waktu. Dia tidak bermaksud melantur sama sekali. Dia bukan Jeremy dan King yang berjiwa humoris, bukan juga Lupin di dahulu kala yang gemar mempertele teman-temannya.
Dia adalah Watson. Sosok yang akan memikirkan segala kemungkinan demi menguak kebenaran yang terpendam. Tidak ada waktu bercanda baginya selagi pelaku saling bergumul memperbanyak jumlah.
Memang Watson sudah tahu lokasi pelelangan yang telah Organisasi tentukan berkat petunjuk yang ditinggalkan Apol lewat Fate, namun mengapa Apol tidak berhasil menyergap musuh?
Inilah yang menjadi pertanyaan besar di kepala Watson sedetik setelah berhasil memecahkan teka-teki "posisi".
Kalau Apol sudah tahu lokasi musuh, kenapa bukan dia saja yang menyelesaikan kasusnya? Kenapa dia mesti mengoper tanggung jawabnya pada klub detektif? Apa Apol tahu bahwa ini tidak selesai hanya dengan menerobos pelelangan identitas? Atau dia keburu ketahuan sebelum sempat meminta bantuan polisi?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Jeremy Bari - Fail Snowdown
Mystery / ThrillerJerena Bari, itulah nama kakak Jeremy. Seorang wanita tunagrahita yang menghilang selama setahun. Walau sudah meminta bantuan polisi dan divisi pencari orang hilang, Jerena tak kunjung ditemukan. Tampaknya dia tersesat jauh. Di balik keceriaannya...