"Tapi, Bu... Aku bukan anak perempuan."
"Tidak ada tapi-tapian. Kamu akan menghasilkan uang untukku. Sekarang pergi! Puaskan nafsu pria-pria itu dan raup uang mereka sebanyak mungkin. Cuman itu satu-satunya keahlianmu."
Rasanya menyiksa ketika om-om mesum di bawah pengaruh alkohol menyingsing rokmu dan menyentuh-nyentuh pahamu, memajukan tubuhnya sehingga kamu bisa mencium aroma alkohol yang pekat. Ini tindak pelecehan.
"Hentikan..." Jeremy menahan pergerakan tangan pria menjijikan di sebelahnya.
"Kenapa? Bukannya kamu kubayar untuk ini?"
Jeremy menggigit bibir, menambah intensitas genggaman tangannya, mendengus jengkel. "Aku ini laki-laki, bedebah."
Plak! Jeremy justru mendapat tamparan dari ibunya atas perbuatannya.
"KENAPA KAMU MENGATAKAN ITU, HAH? SUDAH KUBILANG CARIKAN UANG UNTUKKU! DASAR ANAK TAK BERGUNA! JANGAN BERHARAP KAMU MENDAPAT MAKAN MALAM."
Tidak sekali, namun berkali-kali kehendak bunuh diri datang ke pikiran Jeremy yang kalap tiap dia selalu disuruh memakai baju-baju manis sialan itu. Ayolah, siapa juga mau mengenakan. Jeremy itu cowok.
Digenggamnya pisau cutter, diarahkannya ke pergelangan tangan. Jeremy mesti melakukannya secara vertikal dan harus mengeluarkan darah paling lama delapan jam untuk bisa mati.
Tangannya perlahan gemetar. Ayolah, sakitnya cuman sebentar. Mati tidak semenakutkan itu kok.
Tidak bisa. Jeremy tidak bisa melakukannya. Ternyata dia takut mati. Pegangan terhadap pisau melemah, terduduk di tatami, berteriak kencang. Ingin mati pun tak semudah dari yang diomongkan orang-orang.
Jeremy kira dia takkan merasakan momen menyedihkan itu lagi setelah melepaskan diri dari orangtua sialannya, tapi lihatlah posisi dia sekarang. Duduk bersimpuh di tengah-tengah panggung, disorot cahaya lampu, memakai gaun pink memalukan, di depan puluhan pasang mata.
Kelereng abu-abu di matanya tidak lagi berwarna. Itu mengosong. Sama seperti insiden Watson yang dihipnotis Mupsi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Terputus dari talamus. Jeremy hanya menampilkan ekspresi bengong, meski air matanya mengalir membasahi pipinya.
"JEREMY!" Dinda di samping panggung berseru memanggil, tergugu.
Tapi tak ada gunanya. Pemilik nama tidak sedang berada di kesadarannya. Percuma saja Jerena menyandera Dinda. Bahkan tanpa mengancam teman masa kecilnya itu, Jeremy sudah terpukul duluan.
"Nah, apa kalian tertarik? Jelas dong. Kita membicarakan Jeremy Bari lho. Kalian pastilah mengenal baik reputasinya di Moufrobi. Menangkap pelaku kelamin anak, menyelesaikan kasus-kasus besar. Latar belakangnya juga tak bisa dianggap remeh walau hanya anak angkat."
Bisik-bisik kembali terdengar.
"Gadis itu sudah gila ya menculik dan mendagangkan identitas Jeremy Bari. Benar-benar CEO yang mengagumkan!"
"Ini menarik! Identitas Jeremy Bari sama dengan menemukan harta karun. Dia berada di hierarki yang berbeda."
"Hidupku bisa jackpot jika memenangkan nama anak itu! Aku harus mendapatkan identitasnya!"
Jerena menyeringai mendengar komentar positif dari para konsumen. Dia mengambil mikrofon, melanjutkan pelelangan. "Baik. Mari kita mulai dari 734 dolar!"
Nomor 12 mengangkat papannya. "23.000 dolar!" Tersenyum angkuh.
Nomor 53 mengangkat papannya. "46.000 dolar!" Takkan dia biarkan orang lain menang.
Nomor 102 mengangkat papannya. "119.000 dolar!" Minggi kalian semua rakyat jelata.
Jerena tersenyum sumringah. Itu harga yang tinggi. "Apakah masih ada pengaju lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Jeremy Bari - Fail Snowdown
Mystery / ThrillerJerena Bari, itulah nama kakak Jeremy. Seorang wanita tunagrahita yang menghilang selama setahun. Walau sudah meminta bantuan polisi dan divisi pencari orang hilang, Jerena tak kunjung ditemukan. Tampaknya dia tersesat jauh. Di balik keceriaannya...