10

473 174 132
                                    

Klep! Pintu dan engselnya kembali bertemu. Sopir taksir memijak pedal gas, memutar pelan setir kemudi, beranjak meninggalkan gerbang.

Penumpang yang baru turun itu menanjakkan kacamata ke atas kepala, menatap bangunan Madoka, tersenyum miring. Helai rambutnya berjatuhan. "So, this is Madoka? Not bad," ujarnya bermonolog sembari berdecak takjub. Kali pertama dia menginjakkan kaki ke tanah lain setelah bertahun-tahun lamanya berdiam diri di New York.

Menyudahi decak kagum, dia pun melangkah masuk ke halaman sekolah. Jika saja tidak ada insiden wakepsek, jika saja pbm Madoka tengah berjalan, jam segini seharusnya murid-murid masih kelabakan di halaman. Mereka akan bersitatap melihat sosok itu, saling melongo dimabuk euforia.

Bagaimana tidak? Penampilan sosok itu amatlah nyentrik. Warna rambutnya ungu nyalang modelan half-up double buns. Sebuah kalung choper berbandul salib melingkar di lehernya. Tak lupa anting-anting dengan bandul yang sama. Benar-benar bukan tampilan khas penduduk lokal.

Perkenalkan, dia adalah Violetta Amblecrown. Sahabat Watson. Berbeda dengan Jam, Alena, Mela, dan Lupin, mereka berdua sudah berteman sejak kecil. Makanya Violet menempel pada Watson begitupun sebaliknya, sama-sama saling memanfaatkan bakat. Hubungan mutualisme.

Di sudut pandang lain, di latar yang berbeda, King terbangun dari tidurnya. Dalam kondisi setengah sadar menolehkan kepala, sudah pukul delapan pagi. Penghuni klub senantiasa tidur nyenyak. Maklum mereka masih tidur karena begadang sampai jam tiga.

Jeremy mengorok di sofa. Aiden dan Dinda terkapar di karpet. Watson tertidur di depan laptop yang menyala. King sendiri sebenarnya masih mengantuk, namun dia punya urusan sama yang namanya toilet. Jadilah dia melawan kantuknya.

King melenguh keluar dari klub. Ponsel berdering mengganggu dirinya yang menguap. Berdecak pelan, dia pun mencak-mencak mengangkatnya. "Apa? Kamu pikir ini jam berapa, hah? Kamu yang paling tahu aku tak suka bangun pagi—"

"Ini tentang orang itu." Penelepon memotong protesan King. Suara tegas.

King yang misuh-misuh seketika melek, membenarkan posisi berdiri. Gemetar memegang ponsel. "B-bagaimana? Aku harap bukan laporan yang sama."

"Sayangnya tidak, King. Kami tidak menemukan apa pun. Ini pencarian ke-56. Sudah tidak ada harapan. Aku rasa kamu harus berhenti mencari orang mati."

"JANGAN MENGATAKAN OMONG KOSONG!" bentak King seperkian detik kemudian mengontrol tinggi-rendah suaranya agar yang ada di klub tidak terbangun. "Kamu hanya perlu mengatalis pencarian. Jangan telepon aku jika belum mendapat apa-apa. Paham?" King mematikan panggilan, mengeram. Wajah yang biasanya ceria itu menunjukkan mimik sendu.

Seseorang berdiri di sampingnya. "Excuse me."

King menoleh, spontan menjatuhkan hapenya. Reaksi yang kurang-lebih sama seperti bertemu Watson ketika dia mendaftar. Cengo kecil. Astaga, ekspresi kagetnya menggemaskan.

"Apakah Watson Dan ada di dalam?" sambung sosok itu menunjuk papan nama yang bergelantungan di pintu.

King kikuk mengangguk, masih terkejut.

Menyeringai, sosok itu menarik kenop pintu, melangkah masuk ke dalam. Tak susah menemukan Watson, dia tertidur di kursi dengan posisi yang biasanya tempat CEO kantoran duduk. Tersenyum geli, dia mengendap-endap ke arah sherlock pemurung itu, mengambil kuda-kuda mantap tepat ke telinga Watson.

"BANGUN DASAR PEMALAS!" soraknya kejam.

Yah, selanjutnya bisa ditebak. Watson terjungkal dari kursi, terperosok ke bawah. Aiden, Jeremy, dan Dinda ikut kena getahnya. Kepala demi kepala tertoleh ke sumber suara lengking barusan.

[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang