6

448 178 89
                                    

"KYAAAA!!!!!"

Semua murid di sana menjerit histeris, tunggang-langgang berlarian dari aula, saling sikut yang penting keselamatan utama. Tetapi, katakan tidak pada Klub Detektif Madoka. Mereka bertahan bersama Dewan Siswa dan Dewan Guru selagi yang lain terbirit-birit kabur.

Isi perut King naik ke atas. Dia pergi mencari tempat untuk muntah. Absen harian tiap melihat mayat. Sungguh tidak kuat menyaksikan mayat berwajah hancur terjelepak di hadapan. Mental King belum sekuat itu.

Aiden berbinar-binar syok, mendongak ke atas yang bolong. "M-mayatnya jatuh dari mana? Kenapa bisa sampai ke kubah aula?"

"Melihat kaki korban yang patah, sepertinya dia dijatuhkan dari rooftop sekolah. Salah satu kakinya tersangkut ke pagar pembatasan. Rooftop tersambung ke bangunan aula. Korban jatuh berguling-guling sampai tiba kemari." Jeremy berkata, juga ngeri melihat kondisi tubuh mayat. Mukanya rusak total oleh benda tumpul keras laksana habis dipukul barbel atau martil. "Dia dipukuli dengan parah."

"Kalau begitu kita harus memeriksanya sekarang. Mana tahu pelakunya masih ada di sana." Aiden bersiap-siap mengambil langkah.

Jeremy menggeleng, menunjuk bekas merah di leher korban. "Kamu lihat bekas lilitan itu? Dia digantung. Pelaku mengaturnya agar jatuh ketika apel dilakukan. Mungkin menembak talinya dengan panah, peluru, atau apalah semacamnya. Yang kita dapatkan di rooftop hanyalah jejak senjata. Sepertinya ini semacam peringatan untuk Madoka."

Aiden mengerjap bingung. Sejak kapan Jeremy jago beranalisis? Oh, tidak. Dia kerasukan.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Pak Kepala Sekolah?" Guru-guru mulai mendesak. "Kenapa Anda membiarkan pembunuhan terjadi di lingkungan sekolah?! Reputasi Madoka akan tercemar. Belum lagi wakilmu yang hilang entah ke mana. Citramu dan nama Madoka bisa tercoreng, Pak Kepsek."

"Anda harus melakukan sesuatu, Pak Kepala. Jika tidak, publik akan memaksa mencari tahu masalah yang ada di Madoka."

"Bisakah kita tenang sebentar! Daripada mendesak saya, guru-guru sekalian lebih baik menyuruh satpam segera mengunci gerbang. Jangan biarkan satu pun murid pulang. Sesuai perkataan kalian, guru-guru, kalau ada media sampai tahu Madoka akan hancur."

Para guru bergegas meninggalkan aula.

Watson memperhatikan jasad itu, dari atas sampai bawah. Tak merasa jijik sekali pun padahal organ-organ korban berhamburan. Oh, dia mah sudah pro. Tidak perlu dikhawatirkan.

Eh? Kenapa ciri-cirinya mirip? Jangan bilang?! Watson mundur dari sana, segera lari menuju klub. Semoga saja penilaiannya salah.

"Tunggu, Dan! Kamu mau ke mana?" Aiden dan Jeremy mengekori langkah Watson.

Sunyi sejenak.

"AYAH!" King selesai muntah, oleng kiri oleng kanan demi menghampiri Kepala Sekolah. Dimabuk aroma mayat. Kepalanya pusing. "Jadi ini sebabnya Ayah menyuruhku masuk ke klub detektif, mencari wakil Ayah yang menghilang. Tidak adil. Ini masalah Ayah. Kenapa melampiaskannya padaku, hah?"

Beliau mengeluarkan sapu tangan, membersihkan sisa muntah di bibir putranya. "Kapan Ayah bilang begitu? Wakil kepala sekolah hilang seminggu lalu, tak ada sangkut pautnya Ayah memasukkanmu ke klub itu."

"Ayolah, Ayah, aku tersiksa bersama mereka. Sedikit-sedikit aku yang disuruh. Ini-itu aku yang diperintah. Aku tidak mau jadi detektif kalau kerjanya seberat ini!" King merajuk.

"Berhenti mengeluh. Teman-temanmu sudah pergi. Susul mereka sana," usir beliau dingin.

King masih ingin bertanya, namun ya sudahlah. Ayahnya tidak akan berbaik hati memberitahu apa yang terjadi di Madoka. Dia bersungut-sungut beranjak meninggalkan ruang aula.

Apol melangkah ke sebelah Kepala Sekolah, tersenyum misterius. "Sepertinya ini akan menjadi rumit, Pak."

"Jangan membebani diri, Apol. Aku yang salah karena terlalu meremehkan. Andai aku lebih cepat meminta pertolongan mereka."

Apol hanyut dalam pikirannya.

-

Brak! Watson mendobrak pintu klub, mematung di luar. Ponsel di genggamannya terjatuh dari pegangan.

"Ada apa, Dan? Apa yang kamu lihat—"

Jawabannya muncul di depan Aiden. Sosok Fate tergeletak di sentral ruangan. Mukanya hancur tak berbentuk, sempurna sama dengan mayat di aula. Watson sudah menjelaskan tentang mayat wanita yang hilang dan mereka berencana akan menginvestigasi kedua kalinya hari ini, namun lihatlah, tersangka/saksi terbunuh tragis. Mereka terlambat.

Jangan terlalu bermuluk-muluk pada sesuatu. Semesta kadang memberikan jawaban yang tak diinginkan. Sekejap ada, sekejap tak ada. Tidak ada yang tidak mudah dalam misteri.

"Apa yang terjadi...? Kenapa pelaku membunuh mereka berdua secara keji? Dia menghancurkan muka korban dengan serangan brutal tak berjeda seolah melampiaskan dendam. Ini terlalu kejam ...."

Watson menunjuk bilik baru di klub, ruang operasi darurat. Adalah ide Aiden untuk menambah fitur UGD ke sana, bisa digunakan Hellen nantinya. Watson curiga gadis itu akan membangun helipad di sekolah. Dikira mudah apa memperpanjang bangunan. Ruangan sebelah jadi kena imbasnya. Jangan-jangan nanti dia malah berjibaku membuat motel supaya mereka tidak repot-repot pulang.

"Apa ini? Kenapa tempat ini berantakan? Ke mana wanita penyintas itu pergi?!" Aiden berseru panik mendapati tidak ada siapa-siapa di bilik itu.

Jeremy menatap Watson. Tidak salah lagi, alasan Watson bergegas ke klub yaitu untuk memastikan apa mayat di aula berupa mayat wanita yang menjadi mula misteri ini.

"Padahal wanita itu satu-satunya penyintas kejadian. Dan sekarang ... Beliau yang punya harapan hidup, berakhir mati jua." Aiden mengepalkan tangan marah.

Benar. Watson memastikan kondisi wanita itu stabil sebelum pulang tadi malam. Bahkan dia memberikan anestesi secara teratur menuruti perkembangan tekanan darah korban. Wanita itu memiliki kesempatan bertahan hidup.

"Kenapa pintunya terbuka?" Kepala King muncul dari celah pintu. "Ada klien—" Spontan matanya terbelalak melihat mayat baru tertelentang di lantai. Lagi-lagi King berurusan dengan toilet, memuntahkan semua sarapan. Tidak kuat, Mama!

Sosok Dinda datang selepas kaburnya King—jenuh menunggu di taman belakang, memutuskan pergi ke klub. Dinda menengok ke arah King pergi. "Apa dia selalu begitu? Selalu muntah melihat mayat? Aku rasa CTZ-nya sensitif. Dia butuh obat."

[Note: CTZ (chemoreceptor trigger zone). Bagian syaraf yang mengatur kemunculan sensasi mual.]

"Lagian apa yang dia lihat sampai lari—" Celotehan Dinda menghilang demi menatap pemandangan berdarah di klub detektif. "Astaga! Apa yang terjadi?!"

Ini bukan kabar baik. Watson menghela napas. Udara dingin menguap dari embusannya. Lawan mereka kali ini kuat. Tampaknya wanita penyintas dan Fate mendapatkan kelemahan musuh sampai dibunuh seperti itu.

"Jerena Bari terakhir terlihat di Jerman, Berlin. Orang-orang yang terlibat dengannya bukan sipil biasa, Watson. Mereka pelacur yang memiliki pelindung klandestin. Aku menemukan catatan rumah bordil."

[Note: Klandestin, secara gelap.]

Perkataan Violet (informan Watson) terlintas tanpa permisi. Sherlock pemurung itu tertegun. Mungkinkah ini kasus besar yang melibatkan hilangnya Jerena, kakak Jeremy?

Watson beranjak meninggalkan klub, terburu-buru mengirim pesan pada Violet. Bagaimana bisa dia melupakan hal sepenting itu. Mungkin saja Wakil Kepala Sekolah diculik untuk perdagangan wanita.

Watson berhenti melangkah. 'Didagangkan'? Tunggu, mungkinkah ini penjualan budak...

Tap! Seseorang berdiri di hadapan Watson, bertepatan dengan Violet yang merespon kilat pesannya. Semua terjadi bersamaan. Deon datang sesuai perbincangan kemarin. Ah, hampir saja lupa tentang bisnis mereka.

[Baiklah, Kawanku. Aku akan ke Moufrobi.]






[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang