🦋🦋🦋
Mereke hanya diam, diam cukup lama dan pada akhirnya Nana melepaskan pegangan tangan perempuan itu.
Nara yang di buat gelagapan dengan pergerakan tangan Nana.
"Maaf-maaf, gue nggak bermaksud apa-apa. Tapi itu di sudut bibir lo ada darahnya" tangan Nara menunjuk ke arah bibir Nana.
Nara melihat bagaimana ekspresi Nara, dan dengan cepat Nana menyadari bahwa memang di sudut bibirnya ada sedikit darah. Ia mengusapi dengan ibu jarinya beberapa kali.
"Jangan disentuh!" ucap Nara sedikit berteriak
"Bentar aku ambilin kotak obat dulu" Nara berusaha bangkit dari duduknya, sambil merengis dan memegangi kepalanya. Namun di saat satu langkah ia berjalan, tiba-tiba saja ia terduduk lemas di lantai kamarnya. Kepalanya memang masih sangat terasa pusing.
"Makanya kalau sakit nggak usah sok mau ngobatin orang sakit." ujarnya sembari ia membopong Nara untuk berpindah di kasurnya lagi.
"Dimana kotak obat lo? biar gue aja yang ngambil"
"Itu ada di dekat rak buku gue, kotak warna putih" ujar Nara sembari membenarkan duduknya.
Nana berjalan menuju tempat kotak obat milik Nara. Dan kembali mendekat ke arah kasur Nara.
"Sini duduk!" Nara memerintah Nana yang masih berdiri dan memegang kotak obat itu.
Nana pun nurut dengan ucapan dari perempuan itu.
Nara mulai membuka kotak obat itu mengambil kapas dan memberikan alkohol di atasnya untuk membersihkan darah dibibir itu terlebih dahulu. Nana meringis ketika kapas itu mendarat di atas lukanya.
Sepasang manik mata keduanya dengan tidak sengaja saling bertemu. Nara sadar ia segera mengalihkan pandangannya ke arah kotak obat yang ada di sampingnya. Lalu dengan cepat Nara mengambil kapas dan menuangkan obat merah di atas kapas itu.
"Nih lo bersihin sendiri aja" Nara menyodorkan kapas yang ada di tangannya tadi kepada Nana.
Nana menerima kapas itu, lalu ia berjalan menuju kaca rias yang ada di kamar itu. Dari pantulan kaca di depannya ia bisa melihat perempuan itu yang masih saja menatapnya.
Tatapan itu bukanlah tatapan biasa. Tatapan itu membuat hati seorang Ananta Permana merasa hangat kembali. Namun ia belum bisa menjelaskan dengan pasti apa yang ia rasakan.
Hatinya mungkin sudah lama tak merasakan hangat seperti ini, setelah kepergian Bundanya 5 tahun yang lalu. Ia mungkin sudah lupa bagaimana rasanya hatinya menghangat seperti sekarang ini.
"Kenapa bibir lo bisa luka?"
Nana membalikkan badannya menatap Nara dengan tatapan seperti malam itu sangat teduh, dan sangat tenang.
"Biasa urusan laki-laki"
"Emang harus ya kalau urusan laki-laki itu nyelesaiinnya harus ada tandanya kayak gitu?"
Tak ada yang berubah dari tatapan Nana, tetap sama seperti tadi. Namun tiba-tiba saja ada senyum yang terukir dari bibir tipisnya.
"Khawatir ya lo?"
Di posisinya Nara hanya melongo mendengar apa yang Nana katakan. Benar-benar tidak masuk akal.
"Nggak juga sih, kayaknya kalau dilihat-lihat lo jago deh main tonjok-tonjok kan. Jadi nggak ada yang perlu di khawatirkan"
"Jadi nggak masalah ya kalau gue sering berantem?"
Tak lama setelah perkataannya itu Nana melangkahkan kakinya menuju tempat tidur Nara. Kembali duduk di samping kasur Nara, menatap Nara dengan tatapan yang kosong.
Nara sedikit memundurkan kepalanya, mengerutkan kedua alisnya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikir laki-laki itu. Nara berkata seperti itu bukan berarti Nara tega melihat Nana ataupun orang lain berantem. Namun Nana menganggap perkataan Nara itu benar-benar tulus dari hatinya.
"Iya nggak gitu juga. Emang lo kucing bisa dikit-dikit berantem. Gue ngomong kayak gitu bukan berarti gue tega ngeliat lo berantem. Bukan lo aja sih tapi semua orang. Berantem juga nggak akan bisa nyelesaiin masalah. Berantem tuh bukannya nyelesaiin masalah, tapi nambah masalah"
"Kenapa lo jadi nyeramahi gue. Lo masih sakit, diam aja dulu." Nana menatap Nara sewot.
"Biarin. Dan kenapa lo berinisiatif buat jengukin gue? Padahal lo kenal sama gue aja masih beberapa minggu" beberapa kali Nara menarik turunkan kedua alisnya, saat masih menatap Nana.
"Pingin aja sih. Nggak usah geer duluan ya lo" Nana menjitak kepala Nara dengan tangannya. Bukan jitakkan yang keras. Yang membuat Nara meringis dan memegangi kepalanya.
"Siapa juga yang geer."
"Ya udah gue mau balik dulu kalau kek gitu. Jangan lupa makan sama diminum obatnya." Nana pun berbalik, mengambil tas yang ada di atas meja belajar milik Nara.
"Oh iya, jaket lo masih ada disini. Belum gue cuci"
"Kapan-kapan aja" Nana membenarkan cangklongan tasnya, lalu ia pergi meninggalkan tempat itu.
Disana Nara memandang punggung laki-laki itu hingga hilang daei balik pintu.
Setelah beberapa menit laki-laki itu pergi meninggalkan kamaranya, tiba-tiba saja Nara mendapatkan pesan yang dikirim oleh Nana.
Nana:
"Cepet sembuh, biar gue duduknya nggak sendirian lagi."
Di depan layar ponselnya Nara tersenyum.
Bersambung.....
🦋🦋🦋
Catatan sunny:
Hallo semuanya selamat malam. Semoga kalian semua baik-baik saja. Sekali lagi saya benar-benar minta maaf. Saya sering kali kalau update cerita selalu tengah malam seperti ini. Karena kalau siang saya masih ada beberapa kegiatan yang harus di selesai kan. Dan saya akan berusaha semampu saya untuk tetap bisa update cerita setiap hari Minggu dan Senin.
Dan aku minta bantuan kepada kalian ya, jangan lupa follow, komen dan vote cerita ini ya.
Dan maaf mungkin di eps ini ceritanya nggak nyambung dan cuma sedikit. Semoga nyaman ya kalian membaca cerita ini.
Terimakasih dan,
Selamat membaca🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Temu (On Going)
Teen FictionKamu tau kan kenapa kita di hadirkan di bumi ini? kita semua yang di hadirkan di bumi ini semuanya ada alasannya, ada manfaatnya. Jangan pernah kamu merasa kamu yang paling nggak berguna. Buang fikiran itu Na. Kamu berguna, kamu berharga Na.