Bab 11# Teman

18 8 2
                                    

Sebelum membaca, bantu voting, follow dan komentar ya semuanya. Terimakasih☺❤❤

🦋🦋🦋

Bagi Nana, cinta adalah sebuah rasa yang hangat. Rasa yang mungkin bisa dirasakan dengan siapa saja. Nana pikir sebuah cinta itu akan datang dan pergi tanpa pernah ada alasannya. Bagi semua orang kata cinta adalah sebuah bahasa yang paling indah. Meski perasaan seseorang manusia itu seperti plastik yang lunak, mudah untuk berubah dan mudah untuk di tempa.

Seperti saat ini setelah Nana pulang dari rumah Nara, tiba-tiba saja Azel sahabat Nana dari sekolah lamanya tiba-tiba saja menelfonnya dan menyurhnya untuk menemuinya di salah satu cafe shop yang ada di kota itu.

Mereka berdua masih duduk saling berhadapan, pada kursi yang berada tepat di pojok ruangan itu. Dengan diiringi beberapa buah lagu yang mungkin sudah banyak orang yang mendengarnya.

Namun berbeda dengan hari-hari biasanya, hari itu Azel merasa bahwa atmosfir yang ia rasa diruangan itu tiba-tiba berbeda. Perasaan canggung itu tiba-tiba datang menyelimuti perasaannya.

Namun setelah beberapa menit mereka berdua hanya saling diam Nana pun memecahkan keheningan yang ada pada mereka berdua "Nggak biasanya lo diam nggak jelas kayak gini." Nana sembari mengaduk satu gelas americano dengan sesotannya yang sudah berada di depannya. Begitu juga Azel ia sedari tadi hanya mengaduk-aduk minuman yang ada di depannya, sembari melihat kearah Nana dengan tatapan entah apa, Nana tak bisa mengartikan tatapan sahabatnya itu.

Azel tersadar dengan ucapan Nana itu, lalu ia mengerjapkan matanya beberapa kali "ah.. Gue nggak papa," lalu ia menyedot minuman itu, dan melanjutkan perkataanya.

"Setelah lo pindah sekolah, gue jarang ketemu sama lo. Jadi ya udah gue tadi telfon lo. Pingin ketemu sama lo."

Nana mengangguk dan kembali menyedot minuman yang ada di gelasnya.

"Gimana, di sekolah baru lo? Enak nggak orang-orangnya?"

"Enak. Lo pikir makanan." Nana terkekeh mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu.

"Sama aja ya lo, tetep nyebelin."

"Orang-orangnya semua sama aja. Sama-sama makan nasi." jelas Nana, sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada. Dengan wajah tak berdosanya.

"Kebiasaan," ujar Azel dengan memicingkan matanya ke arah Nana

"pasti semua cewek pada suka sam lo. Iya kan? Ngaku lo." lanjut Azel, sembari menunjuk dengan satu jarinya ke arah Nana.

"Biasa orang ganteng. Tapi pertanyaan lo nggak ada penting-pentingnya." ujar Nana dengan tatapan cuek.

"Gue tahu alasan lo pindah kesana. Tapi menurut gue masalah itu nggak begitu besar buat gue"

Nana yang sedari tadi memasang wajah cueknya tiba-tiba saja ia mengernyitkan alisnya dan menatap sahabatnya itu dengan terheran-heran dan bingung dengan posisi tangan yang masih sama. Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya. Sebelum pada akhirnya ia berkata "gue nggak salah dengar. Lo tadi bilang nggak begitu besar kayak gitu?"

Azel mengangguk dan menatap Nana yang berada di depannya itu dengan tatapan yang meyakinkan.

"Lo pikir deh sekarang, setelah kejadian waktu itu emang lo dapat keadilan? Nggak kan? Lo malah di injak-injak sama orang-orang yang ada di sekolah. Lo ngerasa nggak sih hah?" Nana menurunkan tangannya yang berada di depan dadanya. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya menatap Azel dengan tajam.

Apel dibuat tidak nyaman karena tatapan sahabatnya itu. Dengan terus menerus Azel menggeser kedua bola matanya melihat kearah lain.

"Tapi Na..." sebelum Azel meneruskan ucapannya Nana sudah dulu memotong ucapan Azel

"Tapi apa? Lo mau nyerah kayak dulu lagi juga?" Nana masih menatap ke arah Azel dengan tatapan tajam yang Nana miliki.

"Dengerin omongan gue dulu." Dengan memberanikan diri Azel membalas tatapan Nana dengan tatapannya yang sangat dalam.

"lo pikir gue mau di injak-injak harga diri gue? Enggak Na gue juga nggak mau terus di gituin sama orang-orang yang ada di sekolah. Gue juga nggak mau. Gue bisa apa Na? Gue hanya orang biasa, nggue nggak bisa buat ngeyakinin semua orang kalau gue nggak bersalah dan itu semua hanya salah paham. Gue kalah sama dia Na." tatapan Azel tiba-tiba saja menurun, jari-jarinya yang memainkan tali tas yang ada di pangkuannya. Dan di hadapannya Nana hanya diam.

"Gue mau bilang terimakasih buat lo. Karena adanya lo di hidup gue, gue bisa bertahan sampai saat ini. Mungkin kalau nggak ada lo waktu itu, gue udah nggak bisa bertahan sampai saat ini"

Di depannya Nana hanya mengangguk mendengar ucapan sahabatnya itu. "Lihat gue.." Azel pun menuruti ucapan laki-laki itu sebelum akhirnya ia berkata "Lo nggak bisa berhenti berjalan cuma karena satu masalah. Lo harus tetap bertahan sampai kapanpun walaupun alasan lo bertahan hanya karena hal-hal yang sederhana."

Setelah ucapan Nana selesai tiba-tiba saja tatapan Azel mengarah ke kanan dan kebawah, dengan raut wajahnya yang tiba-tiba saja menjadi seperti ada keraguan pada dirinya. Dengan menarik napas berat beberapa kali Azel pun mengucapkan sesuatu yang sudah mengganjal di dalam hatinya yang sudah cukup lama "gue berharap lo bisa jadi rumah gue. Gue suka sama lo"

Perkataan itu membuat Nana diam, beberapa kali mengedipkan matanya. Ia bingung ia harus menjawab apa. Ia tidak yakin akan bisa menjadi rumah untuk Azel. Dan yang paling jelas ia belum mempunyai perasaan yang sama dengan Azel.

Dan lagu itu tiba-tiba memenuhi seisi ruangan ini. Lagu yang berjudul Friendzone itu seperti tahu bagaimana perasaan Azel saat ini. Hawa canggung yang tadi menghilang kini kembali lagi.

Dan beberapa menit Nana terdiam karena mendengar apa yang telah Azel ucapkan kepada dirinya itu akhirnya Nana meyakinkan dirinya dan menjawab ucapan itu.

"Tapi sepertinya gue bukanlah rumah yang tepat buat lo zel. Dan gue belum bisa membalas perasan lo."

"Gue ngerti. Mungkin ini juga salah gue, gue salah ngartiin semua perlakuan lo ke gue. Gue kira lo punya perasaan yang sama" Azel tersenyum getir

"Walaupun begitu gue akan tetep nolongin lo kalau lo butuh bantuan" Nana meyakinkan sahabatnya itu. Di depannya Azel hanya memasang senyum getir itu.

Dan pada akhirnya Azel memutuskan untuk berdiri dari tempat duduknya terlebih dahulu, dan sebelum akhirnya ia pergi dengan satu kalimat yang membuat Nana terdiam dan merasa bersalah terhadap Azel

"maaf gue terlalu gegabah ngeconfess perasaan gue ke lo. Gue bersyukur bisa dekat dan kenal sama lo. Dan gue minta maaf gue terlalu berekspetasi tinggi sama semua perilaku gue ke lo selama ini." di akhir ucapannya Azel tersenyum dan beranjak dari tempat itu. Meninggal kan Nana yang masih terdiam disana. Dan beberapa kali Nana menyibakkan rambutnya dan mengusap wajahnya gusar.

Perihal perasaan semuanya tidak ada yang tahu. Seiring bertambahnya waktu perasaan manusia akan berubah. Dan di dalam hubungan sepasang sahabat laki-laki dan perempuan tak akan selamanya akan tetap utuh sebagai perasaan seorang sahabat. Entah cepat atau lambat perasaan itu akan berubah menjadi cinta. Walaupun sepihak.

Karena ujian yang sebenarnya dalam persahabatan laki-laki dan perempuan itu adalah sebuah perasaan. Perasaan yang tak pernah bisa di kendalikan oleh siapapun, kecuali oleh diri sendiri.

🦋🦋🦋

Catatan Sunny:

Selamat hari Minggu malam semuanya. Semoga selalu bahagia ya😊

Oh iya gimana menurut kalian di Bab ini. Nyambung nggak, ngefeel nggak? Semoga nyambung dan feelnya bisa sampai sekalian ya. Hahahaha

Kalian tim yang mana nih, menurut kalian cocokan Nana sama Nara, atau Nana sama Azel?. Gimana, gimana? Kalian pilih kapal yang mana? Hehehe

Banyak nanya ya saya😊🙏🏻❤❤

Happy reading ya semuanya☺☺❤❤ Dan jangan lupa buat FOLLOW, VOTING DAN KASIH KOMENTAR YA! biar aku bisa tahu kekurangan dari tulisan aku, kalau kalian ngasih komen ke tulisan aku. Aku tunggu ta ☺☺

Garis Temu (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang