EPILOG

15.6K 611 91
                                    

"Kepergianmu mampu menghancurkan segalanya dan di hari ini juga aku baru menyadari bahwa kamu adalah satu-satunya sosok perempuan yang aku cintai."

-Guntur Madhava

cerita Guntur akan segera terbit dan terdapat banyak perubahan, termasuk endingnya. jadi, jangan lupa nabung, ya, biar bisa meluk Guntur versi cetak. semoga kalian masih antusias, biar targetnya terpenuhi, huhu :(

 semoga kalian masih antusias, biar targetnya terpenuhi, huhu :(

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di area pemakaman yang luas ini ada begitu banyak orang yang ikut mengantarkan Lava ke tempat peristirahatan terakhirnya. Bahkan, teman-teman sekolah yang tidak akrab dengan Lava pun rela untuk datang ke pemakaman. Suara isak tangis masih saja mendominasi. Tak jarang pula mata mereka terlihat sembab akibat tak bisa berhenti menangis semenjak mengetahui kabar buruk ini.

Guntur terlihat begitu kacau, sejak awal ia tidak banyak bicara namun juga air mata masih terus mengalir meski ia sudah berulangkali mencoba untuk menahannya. Zergan pun begitu, ini terasa lebih buruk dari waktu ia mendengar kabar bahwa Alara telah tiada. Ia menyesal karena selama Lava hidup tidak pernah memberikan Lava kebahagiaan. Ia selalu gagal dalam menjaga Lava hingga akhirnya semua kejadian buruk ini harus Lava rasakan.

Langkah mereka berhenti ketika sudah sampai di depan liang lahat. Keranda yang tertutupi kain berwarna hijau dengan bertuliskan kalimat suci di setiap sisinya—di letakkan tepat di dekat liang lahat tersebut. Ketika kain penutup itu dibuka, tangisan kembali terdengar lebih keras.

Seno ikut turun ke dalam liang kemudian menerima jenazah Lava yang akan diturunkan ke dalam sana. Bobot jenazah itu terasa begitu ringan sehingga tidak ada yang keberatan selama proses pemakaman berlangsung.

Setelah meletakkan jenazah pada posisi yang tepat. Para penggali kubur itu mulai mengembalikan tanah bekas galiannya sehingga perlahan-lahan jenazah Lava mulai tertutupi oleh tanah merah hingga pada akhirnya berubah menjadi gundukan. Lava resmi terkubur di dalam sana dan mereka tidak akan pernah bisa melihat Lava lagi.

Semua tangan menengadah ketika mendengar seorang ustadz akan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an beserta doa-doa untuk kebaikan Lava. Dengan sesekali menghapus air mata sembari berusaha menghentikan isakan—Xavi meng-amin-kan setiap doa yang terlontar dari mulut sang ustadz. Rasa sesal masih terus memenuhi hatinya. Ingatan tentang bagaimana pertemuan mereka dulu hingga akhirnya memutuskan untuk menjalin persahabatan—terus saja berputar di kepalanya.

Lava tidak pernah sekalipun membiarkannya terluka tetapi ia malah dengan teganya membuat Lava terluka. Persahabatan mereka dulu begitu erat sampai-sampai semua orang menganggap mereka adalah saudara, tetapi hanya karena rasa iri akibat Lava terlihat jauh lebih unggul dari dirinya—ia sampai rela merusak tali persahabatan yang telah mereka bangun. Padahal, Lava selalu mendukung semua hal yang ia lakukan. Lava juga berulangkali merekomendasikan dirinya kepada guru untuk ikut serta dalam lomba di bidang akademik meskipun pada akhirnya Lava yang berakhir terkena hukuman pamannya karena memilih untuk tidak mengikuti perlombaan itu.

"Lava...maafin gue." Xavi menyeka air mata yang membanjiri pipinya. Menatap gundukan tanah merah dengan nisan bertuliskan nama Lava—sahabat terbaik yang selama ini ia sia-siakan.

Ia bahkan belum sempat meminta maaf secara langsung. Ia belum sempat memeluk Lava, belum sempat memberikan dukungan kepada Lava mengenai semua hal yang sedang terjadi kepadanya. Semua itu belum sempat ia lakukan namun Lava sudah lebih dulu pergi.

Seusai pembacaan doa, satu-persatu dari mereka mulai meninggalkan pemakaman dengan langkah yang berat. Menyisakan Guntur dan juga Zergan. Keduanya masih belum ingin beranjak dari sana. Mereka berjongkok di masing-masing sisi kuburan. Menatap nisan itu dengan air mata yang masih mengalir.

Zergan mengusap lembut nisan Lava. Ia tidak tahu harus berbicara apa karena dirinya seakan kehabisan kata-kata. Hanya air mata yang mampu mewakili bahwa saat ini dirinya benar-benar merasa kehilangan.

"Lava..." Suara itu berasal dari Guntur. Matanya sudah terlihat bengkak akibat tidak bisa berhenti menangis. Ia telah kehilangan segalanya. Dua sosok perempuan yang berarti di dalam hidupnya kini sudah sama-sama meninggalkannya dan tidak akan pernah bisa kembali lagi.

"Gue sekarang harus gimana, Va? Kalo gue kangen sama lo, gue harus gimana?"

"Gue nggak mau kehilangan lo, Va."

"Gue sayang banget sama lo." Guntur meremas gundukan tanah itu hingga membuat telapak tangannya kotor. Dan hal itu tentu saja mengundang tatapan tajam dari Zergan yang berada di seberangnya. Ia bangkit untuk mendekati Guntur kemudian tangannya mencengkeram kuat kemeja hitam yang digunakan oleh Guntur—menariknya hingga membuat laki-laki itu berdiri.

"Ini semua gara-gara lo, ya! Lava meninggal gara-gara lo, sialan!"

"Nggak usah sok merasa kehilangan! Hapus air mata palsu lo!"

"Seandainya malam itu lo bisa menjaga keinginan lo, hidup Lava akan baik-baik aja dan sekarang dia masih ada di sini! Dia nggak akan mungkin meninggal secepat ini!"

"Lo puas 'kan sekarang? Lo berhasil bikin hidup Lava hancur sampe dia menutup mata buat yang terakhir kalinya. Lava nggak pernah merasakan kebahagiaan. Puas 'kan lo?"

Guntur mengabaikan perkataan Zergan. Ia tidak berselera untuk bertengkar. Apalagi posisi keduanya masih berada di dekat makam Lava.

"Sialan!" Zergan melayangkan pukulannya tepat pada rahang Guntur hingga membuat laki-laki itu terhuyung.

Selanjutnya, tidak ada percakapan maupun pertengkaran di antara mereka. Semua kembali diam sembari menatap makam Lava. Begitu berat rasanya untuk melangkah pergi dari pemakaman. Keduanya sama-sama tidak ingin meninggalkan Lava sendiri.

Guntur merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kertas yang sudah sedikit lecek. Ia menjulurkan tangannya ke arah Zergan dan menyodorkan kertas itu kepadanya.

"Surat dari Lava. Gue nemu dari dalam tasnya waktu dia mau nemuin ayahnya. Mungkin surat perpisahan sebelum dia pergi ke Puncak tapi dia lupa buat ngasihin itu ke lo."

Dahi yang semula mengernyit kini sudah kembali normal. Zergan mengambil alih surat itu dari tangan Guntur. Di bagian sudut kertas itu tertulis 'Dari Lava untuk Zergan.' Tulisan yang terlihat begitu rapi dan bagus.

"Tenang aja, isinya nggak gue baca karena gue juga dapet surat dari Lava."

Zergan tidak langsung membaca isi surat itu. Ia hanya memasukannya ke dalam saku celana. Zergan bangkit kemudian menepuk-nepuk bagian celananya yang sedikit kotor akibat terkena tanah merah tersebut.

"Gue harap lo nggak akan pernah baik-baik aja setelah kepergian Lava. Nggak adil rasanya kalo Lava yang nggak salah apa-apa harus berakhir meninggal dengan cara kayak gini. Sementara lo yang jelas udah melakukan banyak kesalahan masih bisa hidup di dunia ini."

"Gue pastikan hidup lo nggak akan pernah bahagia, Tur."

Zergan melangkah meninggalkan pemakaman. Bukan tidak ingin berada lebih lama di makam Lava, tetapi karena ia muak berhadapan dengan Guntur. Emosinya seolah tak terkendali setiap kali melihat wajah Guntur. Ambisinya untuk menghajar Guntur habis-habisan pun terasa memuncak. Namun, ia tidak ingin menganggu ketenangan Lava di dalam sana sehingga pergi adalah jalan terbaik.

Sementara Guntur bersikap abai dengan penuturan Zergan beberapa waktu lalu. Matanya masih setia memandang nisan. Membelainya dengan lembut seolah nisan itu adalah puncak kepala Lava. Guntur menyesali perbuatannya, sangat menyesalinya. Tetapi, semuanya sudah terlanjur—Lava tidak akan pernah bisa kembali dan rasa sesal itu hanya akan terus menghantui pikiranya.

'Guntur'

demi apa si tamat? tapi masih ada extra part. jadi, jangan kabur dulu, yaa.

jangan lupa baca dan komen part yg aku up abis epilog ini

Na

Guntur ; BAD BOYFRIEND [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang