17.

489 95 2
                                    

Happy reading.

"Bagaimana kalau kita gagal?"

"Mati," jawab Sunghoon enteng. Ia menggantung pedangnya di pinggang kemudian terkekeh melihat wajah Jake yang langsung kusut. "Begitu perjanjian dengan Eunkwang yang tidak seberapa keren itu, huh."

Jake masih menekuk wajah. Ia mengeratkan baju besinya. "Aku lebih baik mati secara terhormat daripada dihukum Seo Eunkwang."

"Tidak ada yang boleh mati," sela Jungwon. Entah kenapa nada bicaranya terdengar menyeramkan. Ia mengikat tali sepatunya kemudian menatap Jake. "Kita harus berhasil."

"Aku suka semangatmu," sela Heesung. Ia memasukkan pedang ke tempat pedang yang tergantung di pinggangnya. "Tapi apakah kita bisa berhasil tanpa Niki?"

Yang lainnya ikut menghela nafas. Melihat komplotan ini kurang satu membuat semangat mereka menciut. Belum lagi, Niki adalah kunci keberhasilan mereka. Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau wabah Varanus justru semakin merebak? Bagaimana kalau- ah, sudahlah.

Jungwon mengangkat tas tempat penyimpanan tongkat sihir dan menyampirkannya ke pundak. "Apapun yang terjadi, tetap pada rencana," katanya, setengah optimis setengah pesimis.

Yang lainnya mengangguk sambil mengehela nafas. Langit sudah gelap total dan kastil terasa sangat senyap. Semua pasukan kastil ditarik ke Klan Perang. Dewi Winna berada di Rumah Sakit Pusat Klan Penyembuh bersama ketiga gadis bunga. Seo Eunkwang menepati janji dengan membuat area kastil kosong sejauh yang ia bisa. Setidaknya, tidak ada korban lagi yang berjatuhan. Cukup mereka saja yang berkorban.

"Aku rindu Niki," celetuk Jake sambil mengikuti langkah teman-temannya untuk naik ke Ruang Alexandrite. "Biasanya aku bercanda dengannya."

"Kau bercanda dengan semua orang," timpal Sunghoon sambil mengunyah kacang almond. "Kapan kau serius, huh?"

"Diam atau ku penggal kepalamu?!"

Heesung yang berjalan di depan Jake dan Sunghoon menghela nafas berat atas dasar sengaja. Di keadaan mencekam seperti ini, mereka masih bisa berdebat? Sungguh hebat.

Mendengar helaan nafas itu, mereka akhirnya menutup mulut. Kali ini hanya terdengar suara kunyahan Sunghoon dan langkah kaki mereka masing-masing. Ruang Alexandrite sudah terlihat. Sebelum matahari terbenam, Jungwon dan Heesung sudah menyalakan obor di sana, jadi keadaan tidak begitu gelap.

Jungwon yang berjalan paling depan membalikkan badan. "Jika kalian belum mati, maka tetaplah berjuang."

"Demi Amethyst dan para Lord."

Semuanya mengangguk. "Demi Amethyst dan para Lord."

Tiga puluh menit sebelum tengah malam, masih tidak ada tanda-tanda kemunculan Alena. Langit agak mendung sehingga bulan purnama tertutup awan hitam. Hal itu membuat mereka menjadi semakin takut. Pasalnya mereka agak takut dengan si penyihir yang bisa mendatangkan awan gelap.

"Kita susun sekarang?" tanya Heesung kepada Jungwon begitu melihat jam di dinding menunjukan sudah hampir tengah malam.

Jungwon mengangguk. Ia membuka tas dan mengambil tongkat sihirnya dengan perlahan. Sunoo segera membantunya untuk menancapkan tongkat sihir di tengah meja batu Alexandrite. Beberapa menit, tidak ada yang terjadi.

"Harusnya terjadi sesuatu, 'kan?" Sunoo bertanya sambil memerhatikan bulan purnama.

"Mungkin ada kesalahan," sahut Jungwon sambil membuka gulungan kertas milik Niki. Niki sudah sempat membuat catatan berdasarkan informasi dari Felix yang Jay dapatkan tempo hari. "Di sini dikatakan kita hanya tinggal menunggu tongkatnya menyerap energi bulan."

THE AMETHYST: The Seven Lights Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang