16.

522 96 17
                                    

Happy reading!

"Hei, anak malas, bangun!"

Yang tidurnya diganggu hanya bisa mengerang. Ia merasakan tubuhnya semakin diguncang hebat oleh gadis menyebalkan ini. "Lima menit lagi."

"Tidak ada lima menit!" Sang gadis semakin mengguncang tubuhnya. Ia bahkan menendang tubuhnya. "Kau sudah terlambat tiga puluh menit dari janji kita!"

"Ayolah, Ningyi. Badanku masih pegal," keluhnya.

Ningyi mendecak. Ia mematikan lilin di atas nakas hingga kamarnya menjadi gelap. Setelah itu, ia membuka korden yang menutupi jendela kamarnya. "Lihat, bahkan matahari pun menertawakanmu karena kau kalah cepat dengannya."

Ia semakin mendecak. Sinar matahari jatuh tepat di wajahnya, membuat matanya perih dan wajahnya panas. Mungkin matahari memang sedang menertawakannya karena bangun terlalu siang. Ia menggeliat sebentar lalu menutupi wajahnya dengan bantal.

"Kalau kau tidak turun dalam dua puluh menit, waktu latihanmu ditambah dua jam." Setelah itu, Ningyi keluar kamar.

Laki-laki itu semakin kesal. Ia menendang udara dengan frustasi. Walaupun matanya masih perih luar biasa, ia memaksakan diri untuk duduk. Di atas nakas, terdapat segelas susu dan sepotong bapao hangat yang masih mengeluarkan asap tipis. Di sebelah gelas terdapat vas bunga bening dengan beberapa bunga krisan berwarna-warni.

Ia mendecak sambil meraih gelas susu. Tangannya yang terbebas menyentuh kelopak bunga krisan. "Kenapa gadis itu sangat terobsesi dengan bunga krisan?"

Setelah menghabiskan sarapannya, ia segera bersiap untuk bertemu gadis itu di halaman belakang kastil. Ningyi sedang latihan memanah dengan cross-bownya. Winter ada di sana untuk membantunya berlatih.

"Hai, gadis-gadis bunga," sapanya lalu menyetap cross-bow Winter. "Selamat pagi."

"Selamat siang, pemalas!" hardik Winter. Ia merebut kembali cross-bownya kemudian menjitak dahinya. "Jam berapa ini, Tuan Muda Niki?"

Niki mengelus dahinya sambil cemberut. Ia memilih untuk tidak menghiraukan Winter dan mengeluarkan pedangnya. Ia memulai latihan sihirnya dengan Ningyi sementara Winter pergi. Seperti hari-hari biasanya, siang ini akan ia habiskan untuk berlatih dan berlatih. Sampai sang horizon mulai diwarnai gradasi berwarna jingga kekuningan.

"Tangkap!"

Niki dengan gerakan refleks yang bisa dibanggakan, menangkap botol air yang dilempar Ningyi. Kemudian ia duduk di sebelah Ningyi sambil meneguk airnya. Cairan bening dingin itu berhasil membasuh kembali jiwanya yang lelah.

"Senja di Amethyst selalu cantik," tutur Ningyi sambil menggoyangkan kakinya yang tergantung di ujung dahan pohon.

Niki mengikuti arah pandang Ningyi. Sang horizon membiarkan dirinya menjadi lukisan indah di ujung sana. Matahari seakan-akan ingin mengucapkan selamat tinggal pada mereka sebelum pergi untuk menerangi belahan dunia yang lain. Mungkin kali ini Niki setuju dengan Ningyi. Senja di Amethyst memang indah.

Tapi hal yang paling Niki suka adalah ia masih bisa melihat senja dengan seseorang yang tidak kalah cantik dengan sang senja.

Ia meletakkan setangkai bunga krisan di atas batu dan menjatuhkan bokongnya ke tanah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia meletakkan setangkai bunga krisan di atas batu dan menjatuhkan bokongnya ke tanah. Sinar matahari senja menyilaukan matanya. Ia tersenyum pahit kala mengingat siapa yang paling suka dengan senja di ujung alam Amethyst. Kelopak bunga krisan yang ia tanam di sekitar makam Ningyi berterbangan di bawa angin. Membuatnya bertanya-tanya bagaimana bisa dahan masih berdiri tegak setelah ditinggalkan? Bagaimana bisa senja selalu cantik padahal mengantarkan kegelapan?

Mungkin Niki tidak pernah bisa menjadi dahan bunga krisan karena senja di ujung alam Amethyst tidak pernah sama lagi.

"Kami minta maaf hal ini harus terjadi padamu, Niki."

Niki menoleh ke arah suara. Sunoo, Jake dan Heesung berjalan mendekatinya. Mereka membawa seikat bunga untuk diletakkan di makam Ningyi. Membuat sang laki-laki yang duduk di sebelah batu nisan menghela nafas.

Sunoo meletakkan seikat bunga yang ia bawa di atas batu nisan. Ia menunduk dalam setelahnya. "Maafkan aku."

"Seharusnya kau bisa menyelamatkannya," gumam Niki. Suaranya terdengar purau.

Angin yang berhembus dan kelopak bunga krisan yang menari-nari di udara pun tahu, hatinya sedang menangis sekarang.

"Lukanya mengenai organ vitalnya." Sunoo menjawab. Merasa sangat bersalah karena tidak berhasil menyelamatkan Ningyi tempo hari. Padahal ia sudah menghalalkan segala cara dan bahkan ia sudah berencana untuk meminta setetes getah di Goa Lidah Buaya, tapi Ningyi tidak bisa diselamatkan.

Matahari semakin tenggelam di ujung sana. Membuat Heesung akhirnya mendesak, "Ada yang perlu kita selesaikan, Niki. Bulan purnama akan datang dan Alena-"

"Kalian bisa menyelesaikannya sendiri," potong Niki. Ia berdiri kemudian merapikan sedikit bajunya yang berantakan karena angin. "Tongkat sihirnya bisa kalian kendalikan karena kalian keturunan para Lord."

"Aku tahu kau sedang berduka tapi ini mendesak, Niki."

Niki mendecih. Ia melangkah mendekati Sunoo demi menatapnya lebih jelas. "Kau tidak akan mengerti, Kim Sunoo. Kau bisa menyelamatkannya kalau kau bergerak lebih cepat!" katanya dengan nada dingin.

"Kau menyalahkanku atas kematiannya?" Sunoo mengerutkan kening. "Niki, semua orang akan mati! Ini hanya masalah waktu!"

"Seharusnya Klan Penyembuh tidak bicara seperti itu!" Nada bicara Niki meninggi. Ia menatap Sunoo tajam.

Sunoo balas menatapnya tepat di manik Niki. Sebelum akhirnya Jake menariknya menjauh.

"Baiklah. Beri tahu kami bagaimana caranya menyempurnakan Agathe dan menyembuhkan Alena? Kami akan menyelesaikannya tanpamu."

"Jake-" Heesung hendak protes.

Niki menarik sudut bibirnya. Ia memberikan pedangnya ke arah Jake. "Taruh tongkat sihirnya tengah malam di bawah pulan purnama. Ruang Alexandrite didesain untuk itu. Kalau Alena atau Varanus berhasil menyentuh tongkatnya, maka kalian kalah. Pedang kalian akan mengeluarkan cahaya untuk mengembalikan manusia-manusia yang terkutuk itu, jadi kalian harus ada di sana sampai lewat tengah malam. Good luck."

—🗡—

Di sebuah gedung pusat Klan Perang, Sunghoon berdiri dengan senyum bodohnya di depan meja kerja Seo Eunkwang. Tangannya ia lipat di belakang, berusaha untuk tampil sopan sekalipun sang panglima perang sudah sebal melihat wajahnya itu. Ditambah lagi Jay memasang wajah tidak berdosa demi mengetuk pintu hati Seo Eunkwang agar mau bekerja sama.

Eunkwang menghela nafas. "Ya sudah. Apa yang kau tawarkan?"

Sunghoon tersenyum. "Mudah," jawabnya sambil melirik ke arah Jungwon.

Laki-laki dari Klan Pemikir itu membuka gulungan kertas di atas meja kerja Eunkwang. "Kami akan menyempurnakan Agathe dan menyembuhkan Varanus. Hanya malam ini aku minta Anda untuk tidak ke kastil. Aku juga ingin Anda mengumumkan kepada Ametharian untuk menjauh dari kastil."

Eunkwang menghela nafas lagi. Matanya menelisik setiap tulisan tangan di gulungan kertas itu. Mungkin ia memang tidak pernah bisa menebak isi kepala Klan Pemikir, karena perjanjian ini bahkan dibubuhi tanda tangan ketujuh keturunan Lord. "Bagaimana kalau kalian gagal?"

"Anda boleh menghukum kami."

Alis Eunkwang terangkat. Ia melempar gulungan kertas ke meja. "Hukuman apa yang kau tawarkan?"

Jay mengidikkan bahu. "Terserah Anda. Apakah Anda akan mempermalukan kami di depan Ametharian? Membunuh kami?"

Eunkwang menyeringai. "Ide bagus. Kalau kalian gagal, kami akan menghukum mati kalian semua. Tidak akan ada keturunan Lord yang tersisa. Bagaimana?"

Mereka bergeming sesaat, sampai Jungwon mengangguk. "Tapi kalau kami berhasil, Anda tidak boleh ikut campur dengan urusan kami. Bagaimana?"

"Deal."

—🗡—

THE AMETHYST: The Seven Lights Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang