Buku-buku

279 53 16
                                    

Bau lorong-lorong kayu yang penuh buku milik tuan perth tidak pernah mengecewakan singto. Selain berdiam diri di ruang baca kakek, singto juga amat senang menghabiskan waktunya di toko buku milik tuan perth. Hanya perlu menyusuri jalanan sisi barat Gaelic, berkuda ditengah bukit dan pedesaan yang penuh dengan bau besi tempaan pedang, menyapa para penduduk yang menganggapnya anak sendiri, dan melewati sisi labirin yang dibangun kakeknya, kebanggaan Gaelic.

Singto menunggangi kudanya dengan pelan, sebelumnya para pelayan dan pengawal memaksanya untuk membantu dan mengawal, tapi singto menolak. Bukan karena apa tapi singto lebih senang jika keluar tanpa pengawalan. Lagipula ia hanya membawa beberapa buku dan itupun ringan.

Kudanya berjalan dengan pelan menyusuri jalanan setapak yang membawanya melewati jalanan dekat sungai. Dari kejauhan ia melihat seseorang yang telah lama dikenalnya, atau mungkin seseorang yang tumbuh besar dengannya.

"Earth"
Lelaki bernama earth itu menoleh, menatap singto yang masih enggan turun dari kudanya.

Earth mendekat, dengan baju tipis yang membuat otot dan dada bidangnya terlihat jelas, celana yang ia gulung namun tetap basah karena air sungai, dan selipan belati serta anak panah di pergelangan tangannya, yang juga menjadi hal tersembunyi yang tidak banyak orang tau.

"Tuan..... Singto"
Earth menunduk memberi hormat pada putra kebanggaan Gaelic itu, berbeda dengan singto yang menanggapinya dengan decakan sebal.

"Oh ayolah earth! Berhenti memanggilku seperti itu"
"Tapi hamba yang tidak bisa, tuan"
"Earth, berhenti atau aku akan marah?"
Earth mendongak, memperhatikan wajah singto yang seperti sudah siap mengajaknya adu pedang.

"Baiklah baiklah, maafkan aku"
Earth tergelak, sebenarnya earth memang menganggap singto lebih ke sahabatnya, mengingat keduanya berada di tahun yang sama di pelajaran ilmu pedang.

Earth adalah putra dari ahli pedang yang juga tangan kanan kakek singto. Kemampuan pedangnya seolah sudah turun temurun. Namun, sayang sekali ayah earth harus gugur dalam perang besar klan Gaelic.

"Kau mau kemana? Apakah membutuhkan pengawalan?"
"Earth, kau sama saja dengan ayahku"
"Tapi benar, kau adalah putra pemimpin Gaelic, jadi harusnya kau membutuhkan pengawalan"
"Putra mahkota Gaelic kak mew, bukan aku"
"Tapi...."
"Earth kalau kau lupa, aku tumbuh besar di tanah Gaelic, semua orang menyayangiku, mereka menganggapku layaknya anak sendiri. Lagipula siapa yang mau menantangku di tanahku sendiri, cari mati"
Lagi-lagi earth tergelak, kini tawanya pecah. Benar juga, tidak heran singto menjadi siswa paling pintar.

"Baiklah baiklah, sekarang kau mau kemana?"
"Aku? Aku akan pergi ke rumah tuan Perth"
"Tuan Perth?? Perpustakaan?"
Singto hanya menggerakkan alisnya.

"Untuk mencari buku?"
"Lebih tepatnya mengantarkan buku"
"Milik?"
"Milik ayahku, hanya buku usang. Ayah ingin sedikit mengurangi buku-buku yang tidak penting di ruang baca kakek"
"Bolehkah aku ikut?"
"Jika kau ikut ingin mengawalku maka jawabannya tidak, tapi jika kau ikut ingin membaca aku tidak masalah"
"Opsi kedua"
"Baiklah, cepat! Aku tunggu disini"
Tanpa bersua lagi, earth melesat berlari menuju rumahnya. Tidak perlu waktu lama untuk earth sampai, kini ia telah datang dengan kuda dan pedang serta panahnya.

"Earth?"
"Ya?"
"Kau mau ke perpustakaan tuan Perth atau mau pergi berperang?"
"Ini? Hanya untuk jaga-jaga saja, lagipula aku tidak bisa meninggalkan mereka lebih lama"

Kuda-kuda itu berjalan pelan, menikmati udara dan belaian angin serta sapaan dedaunan. Singto diam namun berbagai fikiran jauh lebih berisik tanpa mau tenang.

"Earth?"
"Hmm"
"Kau akan masuk kastil nantinya, benar begitu??"
"Sudah menjadi tanggung jawabku"
"Meninggalkan kehidupanmu di desa?"
"Ya"
"Apakah kau bahagia?"
"Maksutmu?"
"Apakah kau bahagia menjadi seorang panglima?"
"Bagaimana aku harus tidak bahagia, tentu aku bahagia"

The SlaileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang