Derap langkah kuda itu menggema, meringkik melambaikan surai yang menjadi penanda bahwa kuda itu adalah kuda pilihan, kuda Ksatria milik bangsa Gaelic. Mengerti jika sang empu sedang dalam keadaan emosi yang menguar, membuat kuda kuda itu berbaris menuju gerbang utama, menyebarkan hawa penuh intimidasi.
Mata milik para lelaki yang lebih muda itu menatap dengan penuh awas. Meninggalkan detak bergejolak yang mengoyak kewarasannya, mengoyak ingatannya, mengoyak hatinya, mengoyak cintanya, mengorbankan air mata yang ia telan paksa, mengorbankan cintanya.
Sedang yang lebih tua duduk diatas pelana kudanya dengan tatapan jumawa. Memandang remeh, bahkan hanya untuk angin yang suka duka menari ingin lari. Didalam benaknya hanya ada Gaelic, sumpah, janji, panji-panji kebanggaan Gaelic, darah, dan tahta. Kemenangan telak nampaknya sudah berada di pelupuk matanya, sudah tercium baunya. Tragedi pembantaian yang dilakukan oleh kakeknya terdahulu akan ia lakukan, kejadian itu akan terulang, dan Gaelic kembali bersuka cita, akan menari, akan menjunjungnya, dan akan menjadikannya raja.
Sepatu kuda yang tertanam erat itu menginjak rumput, tanah dan bebatuan melewati bukit bukit curam. Seluruh warga bersorak, meneriakan kemenangan yang seolah-olah mereka pasti akan meraihnya. Para lelaki akan memukulkan segala benda yang terbuat dari besi ke tanah, seolah diantara pertemuan besi dan tanah itu mengandung mantra yang akan mengantarkan kemenangan. Pun dengan para wanita yang melambaikan kain dan saputangan yang paling bagus, paling indah untuk memberkati para ksatria, para titisan raja yang bisa membuat siapapun bertekuk lutut, berharap jika anak-anak mereka akan seperti para Ksatria, pemberani.
Keberangkatan para Ksatria rupanya tidak membuat langkah pria tua nan renta yang semula menangisi salah satu putranya terbujur kaku itu ragu. Tanpa sepengetahuan siapapun, tanpa dorongan apapun kecuali hatinya yang menangis itu pergi menuju jajaran bukit-bukit, membelah hutan, memeluk pohon dengan tangisan nestapa.
Tangannya mengepal kuat, suaranya meraung, berteriak kesakitan walaupun fisiknya baik-baik saja. Air matanya turun bak hujan di sore hari, tangisannya turut membubarkan burung-burung yang melihatnya penuh duka. Tangisannya kembali menarik ingatannya di puluhan tahun silam, di ingatannya ia terbaring di bawah pohon, terbaring diatas rerumputan, terbaring dengan perasaan bahagia, terbaring dengan menggenggam tangan seseorang, terbaring dengan ingatan yang kini membuat tenggorokannya kering, membuat kewarasannya hilang, membuat ia serasa dibunuh hidup-hidup.
Langkah kakinya tidak jelas, akan berjalan kemana sedang ia tidak tau apa-apa. Yang ia lakukan hanya berjalan, terus berjalan seolah didepannya ada pentunjuk jalan yang amat besar. Yang akan membawanya pada suatu tempat, pada seseorang yang ia janjikan sebagai rumah, atau mungkin masih tetap menjadi rumahnya, karena rumahnya tidak pernah berubah, rumahnya masih ada, hanya saja rumah itu terbakar, jadi debu, meninggalkan luka di leher dan hati milik omega yang paling ia cinta.
Dari sengat panas matahari hingga berganti gigil hujan ia terus berjalan. Ingatan serta khayalannya berkelana, berharap ia akan dibantu oleh semesta. Permintaannya hanya ingin dipertemukan saja, hanya ingin bertemu, bertemu pada kematian cintanya, bertemu dan mengadu pada rumah, atau lebih tepatnya semoga ia masih mau dianggap rumah.
Naas sekali, pria tua yang tidak memiliki apa-apa selain tahta itu harus jatuh tersungkur. Seperti dipukul oleh balok kayu yang amat besar, kepalanya mendadak pusing. Harusnya ia semakin menangis tersedu. Karena lukanya diguyur hujan, meninggalkan bekas perih, namun kebalikannya, ia justru tersenyum lebar.
Ia bangkit, menatap sebuah bangunan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Membuat hatinya bergejolak tak sabar untuk segera tiba walaupun harus dengan langkah yang tertatih-tatih. Tanpa sadar ia merapikan baju yang ia kenakan, walaupun dengan basah hujan yang membuat penampilannya sangat berantakan, ia tetap mau dilihat, tetap mau menyapa dengan hangat, tetap mau berharap, setidaknya hadirnya tidak akan menimbulkan rasa sakit itu terulang. Max hanya berharap Tul mau menemuinya.....

KAMU SEDANG MEMBACA
The Slaile
FantasiTanah Slaile bukan hanya daratan, bukan hanya sebuah pulau akan cerita berbagai klan. Slaile adalah rumah, adalah pelukan, yang senantiasa akan menunggumu kembali untuk merengkuh. Namun, Slaile tidak akan selamanya menjadi tempat ternyaman disertai...